Proyek Woosh adalah manifestasi sempurna dari “kebelet ukir legacy”—obsesi meninggalkan warisan monumental yang mengalahkan kebijaksanaan. Ini bukan sekadar kebijakan keliru, melainkan cerminan prioritas pembangunan yang terperangkap dalam glamor kecepatan ketimbang kebutuhan riil rakyat. Woosh! menjadi simbol proyek bergengsi yang mengutamakan citra daripada dampak, prestise daripada solusi nyata.
Tarif yang tidak terjangkau mayoritas rakyat—yang ironisnya menjamin utang proyek ini—membuktikan orientasi pada prestise, bukan transportasi massal yang merakyat. Ini seperti membangun rumah sakit mewah di desa miskin, lalu mengklaim telah meningkatkan akses kesehatan. Kontrasnya mencolok: sementara Woosh! melaju kencang, mayoritas rakyat masih bergelut dengan KRL sesak, bus yang terjebak macet, dan angkutan konvensional dengan standar keselamatan usang.
Dana triliunan yang terserap proyek ini, jika dialokasikan untuk transportasi massal terjangkau, akan memberikan manfaat jauh lebih luas. Bayangkan berapa banyak KRL baru, jalur bus cepat, atau renovasi stasiun yang bisa terwujud. Tetapi perbaikan membosankan seperti itu tidak menghasilkan foto yang menarik perhatian atau kebanggaan dalam pidato kenegaraan. Dalam kalkulasi politik simbolik, satu kereta cepat mewah jauh lebih bernilai daripada seribu bus layak.
Ketika mendengar nama Woosh!, berhentilah dari kekaguman yang dipaksakan. Itu bukan hanya suara kereta yang melintas. Itu suara utang puluhan triliun yang melesat, suara jaminan pemerintah yang dikeluarkan dengan enteng, suara kepiluan tentang negeri yang lebih bangga dengan kecepatan semu ketimbang ketahanan ekonomi nyata. Ini adalah studi kasus klasik tentang proyek gajah putih—proyek bergengsi yang lebih banyak memakan anggaran daripada memberikan manfaat yang sepadan.
Woosh! adalah pengingat pahit: dalam pembangunan, yang melesat cepat bukan selalu yang bijak—terutama ketika dibiayai utang yang ditanggung generasi belum lahir. Mereka akan mewarisi proyek usang secara teknologi, tetapi utangnya masih segar dan berbunga. Ini warisan kita: sebuah kereta yang membawa segelintir penumpang lebih cepat, sementara ratusan juta rakyat yang membayarnya masih terjebak kemacetan dengan beban utang tambahan.
Dan ketika anak cucu bertanya, “Mengapa kita bayar utang untuk kereta yang tak pernah kita naiki?” kita hanya bisa menjawab jujur: “Karena dulu, kita memilih kecepatan daripada kebijaksanaan, prestise daripada kepentingan publik, dan monumen daripada perubahan sesungguhnya.” Woosh! Itulah suara akal sehat yang menguap, meninggalkan tagihan dalam rupiah, kepercayaan publik yang terkikis, dan generasi masa depan yang dibebani utang untuk proyek yang tak pernah mereka minta.
Pertanyaannya bukan apakah kita mampu membangun kereta cepat, melainkan apakah kita bijaksana memilih apa yang dibangun terlebih dahulu. Jawaban sejarah tampaknya akan mencatat: kita memilih yang berkilau, bukan yang bermanfaat.