Manusia memakzulkan yang tak bernama. Mereka menjepit getaran sunyi antara jiwa dan keabadian ke dalam kotak huruf yang reyot: “Agama X”. Pemberian nama itu adalah pengkhianatan linguistik: mengurung samudera dalam tempurung, memagari langit dengan kisi-kisi aksara. Nama itu sekadar penunjuk jalan berkarat, bukan tujuan; peta yang bersumpah dirinya adalah tanah sejati.
Tapi manusia lihai mengubah peta menjadi berhala. Nama menjelma benteng, kelompok-kelompok menjadi pengawal gerbangnya. Angkuh, mereka mematenkan kata seakan Tuhan membutuhkan akta notaris. Ritual mengeras menjadi kode mesin: jika kode sandimu tak cocok dengan algoritma kelompokku, sistem otomatis menderu “Kafir!”—padahal itu cuma terjemahan: “Kartu anggota kami kami robek!”
Ironinya menohok: nama yang mestinya merangkul malah menjadi medan tembak. Setiap kubu berseru “Hanya kami pemilik sah” bagai pedagang emperan yang menjual air sumur sama dengan kemasan berbeda. Mereka saling usir dari istana kata buatan sendiri, mengira mencabut label “Agama X” sama dengan menjaga kemurnian sesuatu yang bahkan tak mereka jamah hakikatnya. Yang mereka perangkap adalah kulitnya, bukan isi; jeraminya, bukan padinya.
Celoteh “Syiah bukan Islam” adalah puncak absurditas ini. Tak perlu digubris. Pertama, Syiah adalah nama kelompok—bukan nama agama. Ia sekadar tanda pengenal manusia-manusia yang berkumpul, bukan peti mati dogma. Kedua, bukan hanya Syiah—semua nama aliran bukanlah “Islam”, sebab Islam adalah nama agama, bukan merek sekte. Mengusir Syiah dari nama Islam sama konyolnya mengusir daun jati dari nama “pohon”. Ketiga, nama kelompok lebih konkret ketimbang nama aliran. Kelompok merujuk pada individu-insan yang bernafas, sementara nama agama mengacu pada klaim-klaim abstrak yang diproduksi pikiran. Syiah—sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab hadis—adalah nama komunitas yang disematkan Nabi SAW sendiri, bukan paten teologis.
Dan di sini letak ironi terbesar: justru ketika dikeluarkan dari “nama Islam” oleh kelompok-kelompok pemilik paten, Syiah mencapai apa yang gagal dilakukan oleh para pengusirnya:
- Konsolidasi Global di Bawah Otoritas Sublim. Mereka membangun peradaban yang memadukan tradisi intelektual ribuan tahun, disiplin moral ketat, dan sistem yang relevan dengan zaman—sebuah otoritas yang hidup bukan dari teriakan, tapi dari kesenyapan karya.
- Entitas Geopolitik Berdaulat. Mereka berdiri sebagai kekuatan alternatif di luar hegemoni global, dengan konstitusi yang bersumber dari khazanah filsafat dan mazhabnya sendiri—bukti bahwa kedaulatan sejati lahir dari akar, bukan dari mengekor.
- Pelindung Yang Mengusirnya. Di puncak tragedi: Syiah justru menjadi perisai bagi kelompok-kelompok yang sama-sama mengklaim “nama Islam”, bahkan yang getol menyesatkannya. Sementara sebagian “pemilik paten” sibuk mengutuk sesama Muslim, Syiah berdiri di garis depan melindungi mereka yang dijajah Israel selama 70 tahun—tanpa peduli dicap “bukan Islam”.
Lalu datanglah surat pengusiran: “Kau dicoret dari Nama Agama Kami.” Di sinilah lelucon semesta memuncak. Yang terjadi sesungguhnya adalah pembebasan. Mereka tak mengusirmu dari Tuhan—hanya dari klub eksklusif mereka, dari daftar pelanggan merek dagang fana. Api tetap membakar walau kau sebut ia “salju”. Matahari tetap terbit walau sekelompok manusia mengklaim hak cipta atas “mentari”. Esensi—desah sakral antara tarikan napas dan keabadian—tak butuh stempel persetujuan. Ia ada sebelum semua nama lahir, dan tetap hidup ketika semua label mati.
Mereja yang gandrung mengusir sesama dari “nama” justru mempertontonkan kegagalan mereka sendiri. Kegagalan memahami bahwa agama, pada nadinya, bukan sistem kredo beku melainkan denyut hidup pengabdian. Mereka sibuk memasang portal di perbatasan surga, memindai paspor kata-kata, sementara surga itu sendiri gersang karena tak ada yang menanam benih. Mereka bertengkar tentang siapa pemilik sah nama “matahari” sambil meraba-raba dalam gua permusuhan.
Maka bila kau “dikeluarkan”, terimalah itu sebagai tiket ke samudera lebih biru. Anggaplah itu teriakan pecundang yang modal utamanya hanya dengki dan rasa tak aman terhadap kesuksesan orang lain. Kau tak diusir dari surga; kau dibebaskan dari penjara huruf-huruf yang dikira kunci langit oleh para sipir kata. Surga tak butuh paspor. Tuhan tak memeriksa KTP. Yang kaubawa cukup debar jujur di dada—bukan label nama yang bisa dikoyak manusia sama tersesatnya dalam labirin bahasa.
Tak perlu kecewa dikeluarkan dari sekadar nama agama. Nama agama bukanlan agama. Karena hanya sebuah nama, ia gagal mempertemukan semua penganutnya dalam satu ajararan, satu jiwa dan satu langkah. Enjoy your faith!