Pukul 01.30 dini hari, kami memasuki kota keraton dan batik yang mencekam. Nyaris tak ada mobil yang melintas. Para pemuda mengendarai motor meraung keras dengan bendera kecil berputar-putar di jalanan, mengubah malam bak sebuah konser yang garang.
Beberapa ruas jalan utama ditutup, ditandai barikade darurat dan petugas yang berjaga. Seorang pemuda berpenampilan aktivis, dengan jaket lusuh dan sorot mata penuh tekad, menghampiri kami di sebuah persimpangan. Posturnya yang tegang membentuk sebuah siluet amarah di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. “Lebih baik ambil jalan ke Jebres. Jalan Slamet Riyadi kacau, sedang ada kerusuhan,” ujarnya dengan nada tegas namun terkendali.
Udara dingin menusuk tulang, membawa aroma tegang yang seolah membekukan kota. Di beberapa titik, kelompok pemuda berkumpul, berbisik di bawah bayang-bayang pohon atau di sudut-sudut gang.
Di sebuah persimpangan, kami melintasi sekelompok pemuda berjaket almamater. Tatapan mereka tajam, meneliti setiap kendaraan yang melintas, termasuk mobil kami. Salah seorang mengacungkan tangan, memberi isyarat agar kami mempercepat laju. Dari kaca spion, kilatan lampu rotator biru dan merah dari mobil patroli memecah gelap, menambah ketegangan yang sudah terasa pekat.
Kami terus melaju, meninggalkan pusat kota yang bergolak. Jantungan sedikit mereda ketika kami memasuki Sukoharjo, kota kecil yang terasa lebih tenang. Namun, bayang-bayang kekacauan beberapa jam lalu masih melekat di benak kami, membawa cerita baru yang sulit dilupakan.
Semoga ketenangan segera kembali, dengan hukum ditegakkan secara adil tanpa tebang pilih. Aspirasi rakyat harus didengar karena kedaulatan di tangan mereka.