Dalam drama kehidupan yang absurd, si kaya—yang sudah bergelimang harta—berkhotbah kepada si miskin: “Lepaskanlah dunia! Sumbangkan hartamu untuk akhirat!”
Si miskin, terpukau, pun menuruti. Tapi ada transaksi terselubung: mereka membayar “jasa doa” kepada si kaya, percaya bahwa kekayaan si kaya adalah bukti doanya yang mustajab.
Ironinya semakin menjadi: dana untuk membayar “jasa doa” ini justru berasal dari kantong si miskin sendiri. Uang mereka mengalir deras mengisi pundi-pundi si kaya, yang semakin dianggap “sakti”, sementara si miskin semakin terpuruk—terjebak dalam harapan bahwa suatu hari doanya akan dikabulkan.
Praktik primitif inilah yang mungkin mengilhami lahirnya bank modern. Nasabah (si miskin baru) menabung dengan iming-iming bunga kecil, sementara bank (si kaya baru) memutar uang tersebut dengan bunga besar. Logikanya tetap sama: kumpulkan uang orang banyak, berikan janji keuntungan, dan biarkan lembaganya tumbuh menjadi raksasa.
Dulu, mereka menjual surga. Kini, mereka menjual “imbal hasil”. Eksploitasinya sama—hanya kemasannya yang lebih profesional dan diterima sebagai kelaziman.
Sistem ini cerdik: si miskin membiayai kekayaan si kaya, sementara si kaya menjual harapan kepada si miskin. Sebuah siklus abadi dimana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin—terbuai janji—terus mengabdi pada sistem yang menindasnya.