Gonjang-ganjing polemik seputar pesantren akhir-akhir ini membawa saya menyusuri lorong kenangan akan masa kecil dan remaja yang tak seluruhnya berwarna cerah. Di usia enam tahun, saya telah menjadi santri kecil yang harus belajar tentang kesendirian, jauh dari pelukan dan kehangatan orang tua. Dalam kesunyian itu, acap kali hadir getir: menjadi sasaran ejekan dan perundungan—sebuah konsekuensi pahit yang kerap menyertai posisi sebagai yang termuda di antara para pencari ilmu. Namun, di balik kepedihan itu, tersembunyi hikmah besar yang kelak membentuk takdir alias konsekuensi kausalitas. Saya senantiasa bersyukur dapat menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren, yang kemudian membuka pintu untuk menimba ilmu ke luar negeri—sebuah lompatan yang pada akhirnya mengubah hampir seluruh lanskap kehidupan saya.
Para guru yang membimbing saya adalah lulusan pesantren-pesantren besar dan termasyhur: Sidogiri, Langitan, dan Meranggen. Dari ketulusan dan kebijaksanaan merekalah saya menimba khazanah keilmuan Islam, mulai dari gramatika bahasa Arab seperti nahwu dan sharf, i’lal, balaghah, ma’ani, bayan, dan badi’, hingga ilmu-ilmu inti semacam ulumul Qur’an, tafsir, fiqh, mushthalahul hadits—meliputi dirayah dan rijal—ushul fiqh, kalam, serta seni seperti tahsinul khath dan tajwidul Qur’an.
Sebagian kitab yang diajarkan berbentuk nazham—puisi-puisi ritmis yang dilantunkan bersama dengan beragam irama dan nada untuk memudahkan hafalan. Di antaranya adalah Alfiyah, Imrithi, dan kitab sharf karya ulama mancanegara maupun lokal. Tak berhenti di situ, kami juga ditempa untuk menghafal surah-surah penting, seluruh Juz ‘Amma, serta teks-teks pujian dan wirid seperti Burdah, Maulid Diba’, Simthuror, Al-A’zab, Wirdul Lathif, dan hizb seperti Hizbul Bahr serta Hizbun Nashr, juga beragam shalawat berijazah: Salawat Nariyah, Tiryaq, dan Nuriya. Semuanya menjadi permata tradisi yang terus berpendar dalam ingatan dan sanubari.
Tak hanya nyantri, setelah menyelesaikan studi saya mengabdi sebagai pengajar di pesantren itu selama 10 tahun. Santri-santri pasti ingat saya karena menurut rumor saya digunjing “sangar”.
Kini, sebuah stigma telah melekat pada diri saya sejak menit pertama berkiprah 40 tahun silam—disebut sebagai “dedengkot aliran sesat” oleh sebagian kalangan di Komplek Griya Kayangan—hingga membuat banyak pintu kesempatan untuk berkarya sesuai kompetensi akademik saya pun tertutup. Predikat “ustadz” yang dilekatkan oleh komunitas, meski bermaksud baik sebagai ekspresi penghormatan -tanpa cium tangan, tentunya- justru terasa bagai sangkar yang menyekat saya dalam satu bentuk identitas tunggal.
Namun, di tengah segala bentuk penyempitan makna diri itu, saya merasa memiliki hak untuk menyandang gelar santri dan produk pondok pesantren. Iidentitas itu terukir oleh perjalanan dan pengorbanan, bukan oleh penilaian sepihak atau stigma yang dilekatkan.
Di titik inilah saya harus menyampaikan sebuah ketegasan: menolak generalisasi negatif sama sekali tidak berarti membenarkan pandangan irasional atau perilaku negatif yang nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama, apalagi yang menabrak prinsip moral kemanusiaan universal—keadilan, kesetaraan, dan kejujuran. Menolak propaganda hitam tidak lantas berarti menutup mata terhadap kekurangan, atau menolak introspeksi dengan kerendahan hati.
Justru sebaliknya, semangat pesantren yang sesungguhnya mengajarkan kita untuk selalu muhasabah—berevaluasi diri dengan jujur dan rendah hati. Inilah jalan tengah yang bijaksana: tegas menolak stigmatisasi buta, namun tetap membuka mata dan hati untuk melakukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan secara terus-menerus.
Pesantren telah membekali saya tidak hanya dengan ilmu, tetapi juga ketangguhan dan warisan spiritual yang terus mengalir dalam denyut kehidupan—sebuah warisan yang terlalu berharga untuk dikubur oleh generalisasi yang sempit, namun juga terlalu mulia untuk dibela dengan membabi-buta tanpa koreksi.
Maka, dengan segala kerendahan hati namun penuh keyakinan, saya tegaskan: Saya juga santri. Ini adalah identitas netral yang tak terkait dengan keyakinan dan pandangan tertentu juga tak tersandra oleh stigma apapun.
Text content