Pemberontakan dalam Era Digital
Kita hidup di era ketika ketakteraturan sudah menjadi barang langka—sesuatu yang harus dirindukan secara diam-diam, seperti pelanggaran kecil di tengah masyarakat yang terlalu sempurna. Aku merindukan kekacauan, sebuah kata yang kini memiliki citra buruk, seolah penyakit yang harus disembuhkan oleh algoritma pengasuh kita.
Rezim algoritma telah menjadi kurator yang terlalu posesif. Ia menyaring setiap ketidaksempurnaanku, membersihkan noda ketidaktepatan, dan membuang sampah kelambanan yang dulu justru memberi ruang untuk merenung. Kita telah menyerahkan hak istimewa untuk tersesat, untuk membuat keputusan bodoh yang justru mengajarkan kebijaksanaan, untuk mengalami kebingungan yang melahirkan penemuan. Dalam dunia yang dipersonalisasi sempurna, kita kehilangan kejutan tak terduga yang dulu memberi warna pada hidup.
Aku ingin bertemu keluarga dan orang terdekat bukan melalui layar datar yang mengubah senyuman menjadi sekumpulan piksel, melainkan dalam ruang fisik. Di sana, kita bisa saling mendengar desahan napas, mencium aroma masakan ibu yang tak bisa di-streaming, dan merasakan hangatnya pelukan yang tak bisa didigitalkan. Koneksi digital memang membuat kita terhubung, namun kita tak pernah benar-benar hadir.
Aku merindukan perjalanan lambat dengan bus—perjalanan di mana aku bisa menyaksikan perubahan pemandangan secara perlahan, merasakan setiap getaran mesin, dan mungkin berbincang dengan orang asing yang kisahnya tak pernah direkomendasikan oleh algoritma. Dalam kelambanan itu, waktu kembali menemukan maknanya, bukan sekadar unit produktivitas yang harus dioptimalkan.
Aku ingin pergi ke desa-desa di mana orang-orang masih beruntung karena tak paham cara kerja aplikasi belanja online. Di sana, transaksi masih melibatkan tawar-menawar, senyuman, dan percakapan—bukan sekadar klik dan pembayaran digital. Mereka yang dicap “tertinggal” justru mungkin lebih kaya dalam hal koneksi manusiawi.
Rapat yang berdebu dan berkeringat—itu yang kurindukan. Di mana kita harus hadir secara fisik, merasakan lelahnya perjalanan, dan berdiskusi sambil meneguk kopi tubruk tanpa istilah asing yang rumit. Dalam ketidaknyamanan itulah kita diingatkan bahwa kita adalah makhluk berjiwa dan beraga, bukan avatar digital yang bisa mute-unmute sesuka hati.
Bahkan, aku memilih malam sebagai siang—saat dunia digital tertidur dan yang tersisa hanyalah keheningan. Dalam kesendirian yang dipilih, aku mencari perlindungan dari kebisingan yang tak terdengar namun terasa: padatnya radiasi interaksi elektronik yang membungkus kita siang dan malam. Di sini, dalam sunyi, aku menemukan kembali kemewahan untuk berpikir tanpa notifikasi, untuk merasa tanpa like, untuk ada tanpa harus online.
Kecerdasan Buatan telah memusnahkan kelambanan dengan efisiensinya yang tak terbantahkan. Tapi sadarkah kita, bahwa dalam kelambanan ada ruang untuk merenung, untuk menjadi tidak produktif, untuk menjadi manusia dengan segala kelemahannya? Kita telah menukar kebingungan kreatif dengan kepastian yang steril, mengganti proses belajar yang berantakan dengan solusi instan.
Dalam dunia yang teroptimasi sempurna, justru kerinduan terdalamku adalah pada ketidaksempurnaan—pada hal-hal yang tak terduga, tak terencana, dan tak efisien. Mungkin pemberontakan terakhir kita sebagai manusia adalah dengan sengaja tersesat, membuat kesalahan, dan merayakan ketidakefisienan sebagai bentuk penolakan terhadap standarisasi eksistensi kita.
Maka, berikan salam hormat pada kekacauan, pada ketakteraturan, pada segala hal yang tidak efisien dan tidak teroptimalkan. Karena dalam ruang-ruang itulah, kita masih bisa menemukan jejak-jejak kemanusiaan kita yang paling otentik—sebelum semuanya dihapus oleh rezim algoritma yang tak kenal ampun.