Setelah dua bulan antre untuk kontrol rutin dan konsultasi dengan dokter untuk pasien BPJS di rumah sakit, aku kembali ke arena parkir Indomaret yang bersebelahan dengan tempat praktek dokternya. Sebuah pertunjukan telah berganti lakon.
Dia masih duduk di sana, di atas pembatas trotoar yang sama. Seragam Pemda-nya yang kumal kini bagai bendera setengah tiang dari sebuah rezim yang tumbang. Dua bulan lalu, pria ini adalah arsitek tata ruang informal yang genius. Tangannya yang lincah menggeser motor bagai bidak catur, senyumnya yang mengikhlaskan seribu rupiah, teriakannya “Mau keluar, Pak?” yang lebih efektif daripada belasan rambu parkir.
Kini, revolusi kecil telah terjadi. Seorang petugas parkir resmi berseragam lengkap berdiri di bekas kerajaannya, mengatur kendaraan dengan presisi mesin. Setiap gerakannya terukur, setiap pandangannya steril. Ia adalah produk dari “Jakarta yang Tertib” – sebuah konsep yang kerap lahir dari rahim birokrasi tanpa mempertimbangkan denyut nadi ekonomi wong cilik.
Yang menusuk justru kehadiran sang mantan penguasa yang masih diizinkan duduk di sana. Bukan sebagai penerus, bukan sebagai asisten, melainkan sebagai monumen hidup dari sebuah sistem yang memakan anaknya sendiri. Seragam Pemda yang mereka kenakan sama, tapi maknanya telah berbeda: satu adalah simbol wewenang, satunya lagi adalah pajangan usang.
Aku yang baru saja menjalani serangkaian pemeriksaan medis, tak bisa tidak memikirkan ironi ini. Dokter berbicara tentang menjaga keseimbangan tubuh, sementara di luar, kota justru merusak keseimbangan ekosistemnya sendiri. Setiap “penertiban” seperti ini bagai obat yang terlalu kuat – menyembuhkan gejala, tapi membunuh organ yang sehat.
Dulu, setiap motor yang dia atur, setiap senyum yang dia bagikan, adalah butir nasi yang mengisi piring makannya. Kini, nasi itu telah rontok berceceran di trotoar, disapu bersih oleh sapu kebijakan yang tak peduli pada denyut kehidupan di baliknya. Petugas parkir baru mungkin membawa keteraturan, tapi dia telah mematikan denyut nadi ekonomi informal yang justru menjadi urat nadi kota ini.
Jakarta memang sedang dalam masa “penyembuhan” – menyembuhkan diri dari ketidakteraturan, katanya. Tapi seperti obat yang terlalu kuat, efek sampingnya justru membunuh bagian-bagian yang sehat. Kini yang tersisa adalah sebuah ironi: di depan rumah sakit terbaik, bersebelahan dengan tempat orang mencari kesembuhan, seorang lelaki justru kehilangan cara menyembuhkan hidupnya sendiri.
Kontrol rutinku selesai. Dokter bilang kondisi saya stabil. Tapi aku pulang dengan keyakinan baru bahwa ada bagian dari kota ini yang justru semakin sakit – sebuah penyakit yang tak terdeteksi dalam laporan medis manapun, di mana nasi-nasi kecil terus berceceran di trotoar, diinjak-injak oleh kaki kebijakan yang tak pernah membungkuk untuk memungutnya.