Di sebuah negeri sejuta masjid dan musalla, semangat mulia mendorong sekelompok orang untuk mendirikan tempat ibadah dan asrama pengaji agama dengan anggaran terbatas dan waktu yang sangat singkat. Lantai-lantai baru ditambahkan tanpa memperkuat fondasi. Material yang digunakan seadanya, jauh dari standar konstruksi. Getaran pada struktur bangunan terdeteksi, diikuti retakan-retakan pada dinding, namun pembangunan tetap berlanjut tanpa evaluasi dan perbaikan.
Desain bangunan tidak didasarkan pada gambar teknik. Perencanaan mengandalkan ide-ide spontan tanpa melibatkan insinyur atau arsitek. Keamanan dipercayakan pada ritual dan doa, mengesampingkan penggunaan besi beton yang memadai atau pondasi yang kokoh. Standar teknis konstruksi diabaikan sepenuhnya, dengan keyakinan bahwa niat suci sudah cukup untuk menjamin keselamatan.
Pada hari pembukaan, ratusan santri baru berkumpul di lantai dasar musalla. Tiba-tiba, suara gemeretak keras terdengar, seperti isyarat dari bumi yang kelelahan. Beberapa detik kemudian, bangunan itu ambruk, runtuh seperti tumpukan kartu. Puing-puing menutupi segala sesuatu di bawahnya, meninggalkan tangisan keluarga dan kehancuran.
Tragedi ini mengungkap pelajaran mendalam: mengikuti hukum fisika adalah bagian integral dari keimanan dan ketakwaan. Alam diciptakan dengan aturan-aturan yang terukur, seperti gravitasi, kekuatan material, dan keseimbangan struktur, yang harus dihormati sebagai wujud ketaatan pada kehendak Ilahi. Dalam ajaran keimanan, akal dan ilmu pengetahuan diberikan kepada manusia untuk digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Mengabaikan hukum alam, seperti meremehkan standar konstruksi atau perhitungan teknis, bukanlah cerminan pasrah kepada Tuhan, melainkan kelalaian terhadap amanah untuk memelihara kehidupan. Ketakwaan sejati tercermin dalam keseimbangan antara niat suci, usaha lahiriah yang teliti, dan tawakal, sehingga setiap langkah manusia selaras dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan di alam semesta.
Perhelatan yang dimulai dengan niat mulia ini berakhir dengan tragedi yang menyisakan pelajaran bahwa memstuhi hukum alam bukan syirik namun keimanan.