Penetapan peristiwa Hijrah sebagai poros penanggalan Islam bukanlah titah kenabian, melainkan sebuah keputusan politik beberapa tahun setelah warat Nabi termulia (638 M /17 H).
Dalam ruang musyawarah khusus yang sarat pertimbangan,hijrah dipilih setelah menyisihkan dua opsi besar lainnya: hari kelahirannya dan hari wafatnya. Fakta ini melejitkan tanda tanya : apa sebenarnya yang membuat peristiwa migrasi terpaksa itu lebih diutamakan ketimbang kelahiran sang pembawa risalah atau kewafatannya sebagai penutup misi?
Implikasi dari keputusan ini lebih dalam daripada sekadar penentuan tahun. Penetapan 1 Muharram Tahun 1 Hijriah, yang secara astronomis bertepatan dengan 16 Juli 622 M, menciptakan sebuah disonansi historis yang signifikan. Tanggal ini bukanlah, dan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi, rekaman kronologis yang tepat dari hari Nabi Muhammad SAW meninggalkan Mekah. Ia adalah konstruksi simbolis, sebuah titik nol yang ditetapkan retrospektif, memotong dan menjahit ulang benang waktu demi sebuah narasi kolektif yang baru.
Namun, proyek simbolis ini tidak berhenti di kalender. Hijrah yang telah dijadikan patokan waktu kemudian mengalami metamorfosis lebih lanjut: Beberapa abad kemudia. ia ditransformasikan menjadi event kegembiraan, sebuah perayaan. Muharram, sebagai bulan pertama dalam siklus baru ini, diangkat statusnya. Dan puncaknya, tanggal 1 Muharram pun ditahbiskan sebagai “Hari Kemenangan” umat Islam.
Proses sakralisasi ini tampaknya menemukan pendukungnya yang giat. Muncul serangkaian teks naratif—seringkali dikaitkan dengan tradisi hadis—yang merajut benang-benang dramatis menghubungkan 1 Muharram dengan peristiwa-peristiwa epik para nabi sebelumnya: keselamatan Adam dari langit, berlabuhnya bahtera Nuh, penyelamatan Ibrahim dari api, hingga kemenangan Musa atas Firaun. Apakah ini upaya pemberian “legitimasi teologis” yang terencana untuk sebuah keputusan kalender yang pada dasarnya bersifat administratif dan politis?
Tentu saja, konstruksi simbolis yang begitu masif ini tidak luput dari keraguan. Sebagian kalangan Muslim mempertanyakan logika dasar merayakan Hijrah sebagai “kemenangan”. Bagi mereka, esensi Hijrah adalah sebuah keputusan yang diambil dalam keadaanlemah, sebuah pengungsian terpaksa akibat intimidasi brutal para penguasa Mekah. Momentum kemenangan sejati, argumentasi ini menegaskan, justru terletak pada Pembebasan Mekah (Fathu Makkah). Peristiwa inilah yang menandai kejayaan nyata, penghancuran anasir korup yang mengotori kota suci, sebuah kemenangan gemilang yang bahkan diabadikan secara eksplisit oleh Allah SWT dalam firman-Nya (seperti dalam Surah An-Nasr). Mengapa merayakan perjalanan pencarian suaka ketika ada penaklukan yang jelas-jelas merupakan kemenangan Ilahi?
Hijrah, sebagaimana diisyaratkan secara tajam dalam Surah An-Nisa’ ayat 97, bukanlah romantisme perjalanan yang patut dirayakan dengan kemeriahan. Ia adalah keputusan pilu yang terpaksa diambil di ujung penindasan, ketika bumi yang sempit tak lagi memberi ruang bagi napas iman. Ayat itu menggambarkan malaikat yang menuntut pertanggungjawaban pedih: “Bukankah bumi Allah itu luas?” Kalimat ini bukan pujian bagi perantauan, melainkan teguran keras bagi mereka yang memilih bertahan dalam kehinaan sementara pintu hijrah terbuka. Ancaman neraka Jahanam bagi yang abai bukanlah metafora; ia menegaskan betapa hijrah adalah tindakan penyelamatan diri yang mendesak—bukan pilihan glamor, tapi keharusan yang lahir dari luka.
Esensi hijrah dalam ayat ini terletak pada pengorbanan yang getir: meninggalkan tanah, kenangan, dan segala yang akrab demi menyelamatkan apa yang tak boleh dikompromikan—iman dan martabat. Narasi “kami tertindas” (mustad’afin) ditolak mentah-mentah sebagai alasan pasif, karena Allah menegaskan bumi-Nya yang luas adalah ruang perlindungan bagi yang berani bergerak. Ini adalah migrasi yang dilandasi trauma, bukan petualangan.
Bahkan dalam kemenangan sejarah Hijrah Nabi, yang kerap dirayakan, tersimpan duka pengusiran, rasa asing, dan darah yang tumpah di jalan Yatsrib.
Karena itu, memuliakan hijrah sebagai peristiwa elegan tebaca paradoks. Pesan ayat 97 jelas: bumi Allah memang luas, tapi jalan hijrah selalu sempit—dilalui dengan kaki berdarah dan hati yang terbelah, bukan diarak dalam parade kemenangan.
Terlepas dari polemik keganjilan ini—penetapan Hijrah sebagai dasar kalender dan sakralisasi 1 Muharram sebagai hari kemenangan—ada lapisan makna lain dalam bulan Muharram yang sering terabaikan. Bulan ini ternyata menjadi saksi bagi dua dimensi Hijrah yang paradoks. Pertama, Hijrah ke Madinah: sebuah eksodus monumental yang dipicu oleh intimidasi para elit penguasa Mekah, memaksa Nabi dan pengikutnya mencari perlindungan. Kedua, Hijrah dari Madinah: sebuah eksodus tragis yang justru disebabkan oleh intimidasi dan pengkhianatan para elit penguasa Madinah itu sendiri puluhan tahun kemudian. Dua pergerakan yang berlawanan arah, terpaut waktu, namun terikat dalam satu bulan yang sama.
Tokoh sentral yang mengemban kedua Hijrah ini pun mencerminkan sebuah dialektika sejarah yang dalam. Hijrah ke Madinah dijalani oleh Sang Nabi Agung, Muhammad SAW, sebagai strategi untuk meraih kehidupan yang mulia—mendirikan tatanan sosial-politik berlandaskan iman. Sementara Hijrah dari Madinah diambil oleh cucu kesayangannya, Husain bin Ali, sebagai jalan tak terelakkan menuju kematian yang mulia di Karbala—sebuah perlawanan heroik mempertahankan prinsip melawan kezaliman yang menyamar dalam legitimasi kekuasaan.
Di sinilah mungkin letak jawaban atas segala keganjilan yang diinvestigasi. Kehidupan mulia yang diperjuangkan dalam Hijrah pertama, dan kematian mulia yang diraih dalam Hijrah kedua, bukanlah episode yang bertentangan. Mereka adalah dua kutub yang koheren dalam sebuah proses evolusi spiritual yang berkelanjutan. Hijrah pertama (ke Madinah) mewakili tahap imanensi—perjuangan mendirikan dan mempertahankan keadilan dalam ruang dan waktu duniawi. Hijrah kedua (dari Madinah) mewakili tahap transendensi—pengorbanan tertinggi yang menegaskan kebenaran melampaui segala kompromi duniawi. Transisi dari kehidupan mulia menuju kematian mulia inilah esensi transubstansi—transformasi hakiki di mana perjuangan konkret dan pengorbanan spiritual menyatu, mengubah realitas material menjadi saksi bagi kebenaran abadi.
Penetapan Hijrah sebagai poros waktu, dengan segala motif politik dan teologis yang menyertainya, mungkin saja mengandung keganjilan historis. Namun, ia juga, secara tidak langsung, menunjuk pada dialektika hidup dan mati yang mulia ini—sebuah kebenaran yang jauh lebih dalam daripada sekadar perhitungan hari atau perayaan kemenangan yang disepakati.