Di tengah gejolak kerusuhan dan kemarahan yang melanda sejumlah kota, suara mahasiswa dan buruh mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap DPR, pemerintah, dan aparat keamanan. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru terasa semakin jauh dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Krisis ini tak hanya memicu pergolakan fisik, tetapi juga meninggalkan luka emosional yang dalam di hati rakyat. Mahasiswa dan buruh, sebagai garda terdepan perjuangan keadilan, merasa terpinggirkan dan diabaikan, sehingga kekecewaan mereka memuncak dalam protes dan kerusuhan yang sulit dihindari. Namun, mendukung perjuangan melawan ketidakadilan tidak harus memperkeruh suasana dengan narasi pedas yang memicu adrenalin, karena emosi kerumunan atau kemarahan massal dapat menjadi sangat destruktif serta merugikan bangsa besar dan negara agung yang sudah berusia 80 tahun ini.
Ketika negara yang seharusnya menjadi pelindung dan penegak keadilan justru menjadi sasaran amarah, kita semua sebagai bagian dari masyarakat harus merasakan keprihatinan mendalam. Ketenangan yang terusik, kepercayaan yang retak, dan harapan yang pudar menjadi bayang-bayang kelam yang menyelimuti hati.
Situasi ini menuntut empati tulus, dialog terbuka, dan kerja sama yang kokoh dari semua pihak untuk menemukan solusi terbaik. Alih-alih menambah ketegangan, kita perlu merangkul pendekatan yang konstruktif demi meredam konflik.
Kita perlu memelihara harapan dan keyakinan bahwa dengan persatuan, kita dapat melangkah menuju keadilan dan kedamaian sejati. Semoga gejolak ini segera mereda, dan masyarakat dapat kembali menikmati kedamaian serta kesejahteraan bersama.