Terdapat kesalahpahaman yang cukup meluas di kalangan pengkaji filsafat, baik mereka yang mendalami tradisi Barat maupun yang mempelajari pemikiran Islam. Banyak dari mereka berasumsi bahwa perjalanan filsafat Islam dimulai dari Al-Kindi (wafat sekitar 873 M), sang filosof Arab pertama, dan berakhir dengan Ibnu Rusyd atau Averroes (wafat 1198 M). Narasi ini seringkali dikaitkan dengan respons Ibnu Rusyd terhadap kritik keras Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) yang mengkritik filsafat dan dianggap sebagai “pukulan mematikan” bagi tradisi filosofis dalam dunia Islam.
Akibat dari pandangan yang terbatas ini, kajian-kajian mereka terhadap filsafat Islam cenderung sangat dangkal, bersifat permukaan, dan seringkali hanya fokus pada aspek historis belaka tanpa memahami dinamika dan perkembangan pemikiran filosofis yang sesungguhnya. Mereka lebih banyak mengulas sejarah tokoh-tokoh dan karya-karya klasik tanpa menyelami kedalaman pemikiran dan kontinuitas tradisi yang masih hidup hingga kini.
Salah satu penyebab utama dari kesalahpahaman ini adalah keterbatasan area eksplorasi akademis mereka. Kebanyakan pengkaji filsafat Islam, terutama dari kalangan Barat, cenderung membatasi penelitian mereka pada dunia Islam Sunni, khususnya kawasan Arab dan sebagian Mediterania. Mereka kurang atau bahkan sama sekali tidak menjangkau tradisi intelektual yang berkembang di luar mainstream Sunni, terutama dalam dunia Syiah yang memiliki tradisi filosofis yang sangat kaya dan berkesinambungan.
Konsekuensi Kesalahpahaman
Kesalahpahaman tentang “kematian” filsafat Islam pasca-Ibnu Rusyd memiliki konsekuensi serius bagi studi filsafat Islam secara keseluruhan. Narasi yang tidak lengkap ini mengakibatkan penyempitan perspektif, di mana banyak kajian filsafat Islam kehilangan dimensi penting dari tradisi yang masih hidup dan relevan. Fokus eksklusif pada tradisi Sunni menciptakan bias sektarian yang tidak disadari, menghasilkan gambaran yang tidak seimbang dan tidak mencerminkan kekayaan intelektual dunia Islam secara utuh.
Akibatnya, terjadi kehilangan peluang dialog filosofis yang berharga. Tradisi filsafat Syiah kontemporer menawarkan perspektif-perspektif segar dan relevan untuk berbagai persoalan filosofis universal, dari metafisika hingga epistemologi, dari etika hingga filsafat politik. Lebih jauh lagi, pemahaman historis yang keliru berkembang, di mana asumsi tentang “akhir” filsafat Islam mengaburkan pemahaman tentang dinamika sejarah intelektual dunia Islam yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan berkelanjutan.
Dua Wajah Filsafat Islam
Filsafat memang mati di sebagian dunia Islam yang mematuhi fatwa Al-Ghazali yang mengharamkan studi filsafat, yang kemudian dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Namun di belahan lain dunia Islam, fatwa kedua tokoh ini sama sekali tidak berdampak.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa dalam komunitas Muslim Syiah—yang tersebar di Persia (Iran), Irak, Lebanon, dan kawasan lainnya—studi filsafat tidak pernah mengalami kemandegan atau kekosongan. Berbeda dengan narasi dominan yang menggambarkan “kematian filsafat Islam” pasca-Ibnu Rusyd, tradisi filosofis Syiah justru terus berkembang dengan dinamis, produktif, dan inovatif.
Puncak Keemasan: Era Mulla Sadra
Dalam dunia Islam Syiah, studi filsafat tidak hanya bertahan, tetapi mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan. Tradisi ini mencapai puncak keemasannya terutama setelah era Mulla Sadra atau Sadr al-Din al-Shirazi (1571-1640 M), seorang filosof besar yang mengembangkan sistem filsafat yang dikenal sebagai Hikmah al-Muta’aliyah (Filsafat Transenden atau Teosofi Transenden).
Mulla Sadra berhasil mensintesiskan berbagai aliran pemikiran—filsafat Peripatetik (Mazhab Paripathos), iluminasionisme (Ishraq) dari Suhrawardi, tasawuf teoretis Ibnu Arabi, dan teologi rasional Syiah—menjadi sebuah sistem filosofis yang koheren, mendalam, dan orisinal. Karyanya yang monumental, Al-Asfar al-Arba’ah (Empat Perjalanan Spiritual), menjadi rujukan utama dalam kajian filsafat Islam hingga hari ini.
Tokoh-Tokoh Kunci Pra-Mulla Sadra
Berikut adalah beberapa nama kunci yang membentuk tradisi filsafat Islam sebelum Mulla Sadra, beserta kontribusi utama mereka:
Al-Kindi (801-873 M) – Filsuf Arab-Islam pertama yang memperkenalkan dan menyelaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Karyanya On First Philosophy membahas Tuhan sebagai “Penyebab Pertama”.
Al-Farabi (870-950 M) – Mengembangkan sistem filsafat politik dalam karyanya Al-Madinah Al-Fadilah (Negara Utama), serta berupaya menunjukkan keselarasan pemikiran Plato dan Aristoteles dengan Islam.
Ibnu Sina (980-1037 M) – Mengembangkan metafisika esensi-eksistensi dengan argumen “Wajib Wujud” (Necessary Existent) dan “Mungkin Wujud” (Contingent Being). Pemikirannya sangat mempengaruhi filsafat Skolastik Eropa.
Suhrawardi (1154-1191 M) – Pendiri mazhab Iluminasionisme (Ishraq) yang mensintesiskan akal rasional (filsafat Peripatetik) dan penyinaran hati/intuisi (kearifan intuitif).
Ibnu Arabi (1165-1240 M) – Mengembangkan kosmologi dan metafisika berbasis “Kesatuan Wujud” (Wahdat al-Wujud). Pengaruhnya sangat besar pada tasawuf filosofis dan Mulla Sadra.
Ibnu Turkah al-Isfahani (1365-1432 M) – Mensistematiskan filsafat Iluminasi (Ishraq) dan tasawuf falsafi Ibnu Arabi dan Suhrawardi.
Shadruddin al-Dashtaki (wafat 1498 M) – Pendiri awal Mazhab Shiraz, ayah dari Ghiyatsuddin al-Dashtaki.
Jalaluddin al-Dawani (1426-1502 M) – Penulis kitab Akhlaq-e Jalali (etika filosofis), kritikus Shadruddin al-Dashtaki.
Ghiyatsuddin al-Dashtaki (wafat 1542 M) – Mengembangkan pemikiran filsafat Shiraz dan menjadi lawan polemik Jalaluddin al-Dawani.
Mir Damad (1561-1631 M) – Pendiri Mazhab Isfahan, guru Mulla Sadra, yang mengembangkan konsep al-Huduts al-Dahri (penciptaan temporal).
Tradisi Pasca-Mulla Sadra
Pasca-Mulla Sadra, tradisi filsafat Syiah terus berkembang melalui generasi demi generasi pemikir cemerlang, melahirkan sejumlah filsuf penting yang melanjutkan dan mengembangkan warisan intelektualnya.
Mulla Hadi Sabzawari (1797-1873 M) dianggap sebagai filsuf terbesar abad ke-19. Karyanya, Sharh al-Manzumah, menjadi teks standar dalam kurikulum filsafat di hauzah ilmiah hingga kini. Dialah yang berjasa mempopulerkan dan mensistematisasikan pemikiran Mulla Sadra bagi generasi berikutnya.
Mulla Mohsin Fayz Kashani Abad ke-17 M Murid dan menantu Mulla Sadra; dikenal sebagai teolog, ahli hadis, dan filsuf yang karyanya banyak membahas etika dan irfan.
Mulla Abd al-Razzaq Lahiji Abad ke-17 M Murid dan menantu Mulla Sadra; filsuf dan teolog yang berkontribusi dalam menyebarkan pemikiran Mulla Sadra.
Akhund Khurasani Abad ke-19/20 M Murid dari Mulla Hadi Sabzavari; dikenal sebagai seorang marji’ (otoritas keagamaan) dan ahli hukum.
Mirza Mahdi Ashtiyani (1888-1953) adalah salah satu filsuf terbesar pasca-Mulla Sadra yang menjadi pilar utama Mazhab Filsafat Tehran. Melalui pengajarannya di madrasah-madrasah ternama seperti Marvi dan Sepahsalar, serta karya-karyanya yang banyak berupa komentar mendalam atas teks-teks klasik seperti Asfar dan Syifa’, ia berperan penting dalam melestarikan, menyebarkan, dan meneruskan warisan filsafat Islam, terutama Sadraisme, kepada generasi berikutnya di era modern.
Imam Khomeini (1902-1989) adalah seorang filsuf dan pemikir besar pasca-Mulla Sadra yang melanjutkan tradisi filsafat Islam dengan menguasai disiplin ilmu filsafat (hikmah), irfan (mistisisme), dan etika. Ia mempelajari karya-karya Mulla Sadra dan Ibnu Arabi di bawah bimbingan guru-guru seperti Mirza Ali Akbar Yazdi. Khomeini tidak hanya mengajarkan filsafat politik dan etika selama beberapa dekade di seminari Qom, tetapi juga mengembangkan pemikiran filosofis-politisnya yang khas, velāyat-e faqīh (guardianship of the jurist), yang menjadi landasan teoretis bagi berdirinya Republik Islam Iran. Khomeini tidak hanya mewarisi tradisi intelektual filsafat transendental Mulla Sadra, tetapi juga mengaktualisasikannya dalam sebuah revolusi sosial-politik yang mengubah lanskap politik modern.
Allamah Muhammad Husayn Thabathaba’i (1903-1981 M) adalah filsuf abad ke-20 yang monumental. Karyanya, Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, menjadi textbook filsafat modern, sementara al-Mizan adalah magnum opus dalam tafsir Al-Qur’an. Dialah yang memperkenalkan filsafat Islam Sadraisme kepada dunia Barat melalui dialog dengan Henry Corbin.
Para filsuf inilah yang menjamin kelangsungan tradisi filsafat Islam hingga abad ke-21, membuktikan bahwa filsafat Islam tidak pernah berhenti pada Mulla Sadra.
Kebangkitan Filsafat Islam di Panggung Internasional
Kebangkitan dan pengenalan filsafat Islam Syiah ke panggung dunia internasional tidak dapat dilepaskan dari peran tiga tokoh monumentalnya: Imam Ruhollah Khomeini (1902-1989), Allamah Muhammad Husayn Thabathaba’i (1903-1981), dan Ayatullah Muhammad Baqir Sadr dengan magnum opusnya Falsafatuna. Bersama-sama mereka memperkenalkan filsafat Transendentalisme Sadra ke dunia Barat dan Islam, serta mencetak puluhan filsuf besar yang namanya membahana hingga kini, antara lain Murtadha Mutahhari, Muhammad Hosein Beheshti, Muhammad Taqi Ja’fari, Jalaluddin Ashtiani, Mehdi Haeri Yazdi, Syed Hossein Nasr, Hasan Zadeh Amoli, Abdullah Jawadi Amoli, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan Ali Khamenei.
Kesimpulan
Sudah saatnya para pengkaji filsafat, baik dari Barat maupun dari dunia Islam sendiri, memperluas cakrawala penelitian mereka untuk mencakup tradisi-tradisi yang selama ini terabaikan. Filsafat Islam tidak mati dengan Ibnu Rusyd; ia justru terus berkembang dengan subur dalam tradisi Syiah, menghasilkan pemikir-pemikir besar dan sistem-sistem filosofis yang sophisticated hingga hari ini.
Memahami kontinuitas dan vitalitas tradisi filosofis Syiah bukan hanya penting untuk melengkapi gambaran historis yang lebih akurat, tetapi juga untuk memperkaya dialog filosofis kontemporer dengan perspektif-perspektif yang mendalam, orisinal, dan relevan. Hanya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan komprehensif inilah kita dapat benar-benar memahami kekayaan dan kompleksitas tradisi filsafat Islam dalam segala dimensinya.