Kita hidup dalam sebuah ilusi kedermawanan. Platform-platform digital seperti TikTok, YouTube, dan Meta berdiri bagai tuan tanah feodal baru, dengan senyum manis menawarkan “akses gratis” ke istana informasi dan hiburan mereka. Yang mereka sembunyikan adalah kenyataan bahwa kita, para “rakyat jelata”, sedang menjual diri kita sendiri. Mata uangnya bukan lagi uang, melainkan data pribadi, rekam jejak digital, dan setiap detik perhatian kita.
Ini adalah ekonomi pertukaran yang gelap. Kita mengira sedang menikmati konten, padahal kita sedang dijadikan ternak penghasil data yang diperah setiap hari. Data inilah yang kemudian menjadi senjata utama dalam Perang Taman Bermain Digital—sebuah konflik di mana para raksasa ini berkelahi habis-habisan untuk menguasai satu hal: “croc brain” atau otak purba kita yang mudah tergoda oleh stimulasi instan.
Mereka tidak sekadar bersaing; mereka membangun taman berpagar yang semakin tinggi. Setiap algoritma dirancang bukan hanya untuk memikat, tetapi juga untuk memenjarakan. Tautan ke luar diredam, konten yang membawa “cap saingan” dihukum. Semua ini untuk satu tujuan: memastikan kita tetap berkubang di dalam ekosistem mereka, terus menghasilkan data berharga yang akan menyuburkan mesin persuasif mereka.
Ironi terbesar terungkap: kita adalah produk sekaligus tenaga kerjanya yang tidak dibayar. Kita yang dengan sukarela mengisi pabrik konten mereka, sekaligus menjadi komoditas yang dijuallah kepada para advertiser. Kita dikepung oleh dinding gema (echo chamber) yang dirancang algoritma, digiring oleh sugesti yang dipersonalisasi, dan dijebak dalam siklus tanpa henti untuk mengonsumsi apa yang diarahkan kepada kita.
Pada akhirnya, koloseum digital ini adalah sebuah sirkus agung. Para gladiator—kreator dan penonton—berpikir mereka sedang berlaga untuk kemuliaan, sementara para Kaisar di atas hanya perlu menyaksikan, meraup keuntungan dari setiap tarikan napas, setiap emosi, dan setiap klik yang kita korbankan. Kita merdeka untuk memilih, tetapi hanya di dalam kandang yang dibangun oleh para raja platform. Selamat datang di era feodalisme data, di mana kita semua adalah petani yang bekerja di tanah yang kita kira milik kita, tetapi sebenarnya bukan.