Ada sesuatu yang janggal ketika kegelapan justru merayap dari tempat yang seharusnya menerangi. Bayangkan: di markas yang dirancang untuk memadamkan kobaran, justru kobaran itu sendiri bersarang dan membesar tanpa terdeteksi.
Di tempat-tempat yang seharusnya menjadi benteng pertahanan terhadap bencana, justru muncul retakan-retakan yang membuat seluruh struktur rentan. Mereka yang dipercaya menjaga selang dan tangki air, terkadang justru yang membiarkan sumber bahaya mengendap di gudang-gudang belakang.
Yang lebih menyedihkan adalah bagaimana kita, sebagai warga sekitar, memilih untuk berbisik pelan atau menundukkan kepala. Sementara fondasi bangunan perlindungan itu mulai berlubang, dan lubang-lubang itu kita tutupi dengan berbagai macam dalih yang kedengarannya masuk akal.
Setiap kali kepercayaan dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaga keselamatan, itu adalah percikan yang diabaikan. Setiap kali peringatan dibungkam demi melindungi reputasi institusi, itu adalah bahan mudah terbakar yang menumpuk. Setiap kali kekuasaan digunakan untuk menekan ketimbang melindungi, itu adalah oksigen yang memperbesar potensi ledakan.
Kita memahami bahwa percikan kecil bisa menjalar. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kita pura-pura tak mencium bau asap itu, atau—lebih buruk lagi—menganggapnya sebagai aroma yang wajar dari tempat penyimpanan peralatan.
Pertanyaannya kini bukan lagi tentang siapa yang lalai, melainkan mengapa kita membiarkan penumpukan bahaya itu berlanjut? Mengapa kita lebih mudah menyalahkan cuaca kering, ketimbang memeriksa kabel-kabel yang sudah aus di dalam markas?
Mungkin karena kita enggan mengakui bahwa pos pemadam kebakaran kita sendiri sudah tidak layak. Atau mungkin karena kita telah terbiasa dengan situasi ini—nyamannya tidak perlu mempertanyakan terlalu dalam, nyamannya percaya pada seragam dan emblem tanpa memeriksa isinya, nyamannya berjalan melewati gedung yang retak sambil berharap tidak akan runtuh hari ini.
Namun seperti bara yang terus membara di bawah permukaan, ancaman ini tak akan padam dengan sendirinya. Dibutuhkan kejujuran untuk menyebut bahaya sebagai bahaya, dan kelalaian sebagai kelalaian. Dibutuhkan keberanian untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan, meski harus mengakui bahwa markas pemadam kebakaran kita sendiri sudah penuh bahan mudah terbakar.
