Dua belas pesawat pembom Israel merajam langit Doha dengan rudal-rudal tak kenal kompromi, menghancurkan gedung kantor Hamas dalam ledakan puing dan debu. Sasaran? Rombongan petinggi Hamas yang hendak berunding soal tawanan Israel—sebuah misi diplomasi yang kini terkubur di bawah reruntuhan. Inilah bukti telanjang: rezim negeri ilegal itu tak pernah menginginkan perdamaian, hanya Israel Raya yang membentang di cakrawala ambisi mereka, menelan Timur Tengah dalam cengkeraman hegemoni.
Para pemimpin buru-buru mengeluarkan naskah kecaman lusuh dari laci berdebu, seolah kata-kata klise bisa menyihir dunia. “Kami mengecam! Kami mencela dengan penuh semangat!” seru mereka, suara bergema di ruang-ruang sidang. Sungguh, tak ada teater yang lebih melelahkan daripada parade kemunafikan ini—lomba berteriak paling kencang tanpa mengorbankan sepeser pun nyali atau harta. Dunia menyaksikan, tapi dunia juga tahu: ini bukan keberanian, namun opera sabun kelas tiga, dipentaskan dengan skrip usang dan aktor-aktor yang lupa peran.
Qatar, sang tuan rumah yang lincah bak penari dalam diplomasi, memainkan peran ganda dengan keanggunan yang nyaris memukau. Satu tangan memeluk Hamas, tangan lain menjajakan gas ke “musuh” yang mereka sindir di mimbar internasional. Sikap rezim Qatar memperagakan ketulusan seorang budak yang kendati setia melayani majikan, meski selalu dihina, tetap sabar dan setia. Ketika bom menghantam, mereka menjerit “kedaulatan dilanggar!” sambil tetap menjadi perantara kesayangan semua pihak, termasuk Israel. Kelincahan mereka sungguh memesona—bak penari balet yang berputar di atas tali geopolitik tanpa pernah jatuh.
Rezim-rezim Arab lainnya tak mau kalah dalam pertunjukan ini. Mereka memamerkan “solidaritas” untuk Palestina, mengibarkan bendera di gedung-gedung resmi, sambil diam-diam menanti kontrak senjata dari Washington atau transfer teknologi dari perusahaan yang mereka cela. Kecaman mereka adalah koin politik murahan—dicetak melimpah, namun tak laku di pasar realitas. Mereka berpose di depan kamera, melontarkan amukan verbal yang tak pernah diikuti tekanan strategis. Kelemahan dan perpecahan mereka sendiri menjadi karpet merah bagi agresi seperti ini, namun introspeksi adalah barang langka dengan berkoar jauh lebih mudah.
Ratusan kali dihinakan, dunia Arab—dengan elit borjuis dan kuasa agama yang berbalut kemunafikan—masih menutup mata. Kedekatan dengan Amerika Serikat, yang mereka anggap sebagai jaminan keamanan, tak pernah menghasilkan kehormatan. Bagi AS, rezim-rezim patuh di dunia Arab dan Islam hanyalah pion yang tak sebanding dengan satu entitas super biadab bernama Israel. Inilah puncak ironi: memilih berpidato ketimbang bertindak, bersembunyi di balik frasa basi ketimbang mempertaruhkan perubahan. Kecaman menggantikan nyali, solidaritas menjadi alat pencitraan.
Mungkin suatu hari, ketika serangan berikutnya tiba, mereka akan berhenti menjual minyak, menarik investasi, atau memutus saluran komunikasi rahasia dengan “musuh”. Namun, harapan itu bak fatamorgana di padang pasir—indah, tetapi hampa. Mengutuk selalu lebih mudah, berkoar selalu lebih aman. Sampai nyali menggantikan kata-kata, kecaman mereka hanyalah monumen megah bagi kegagalan: tugu berkilau yang dibangun dari kepalsuan, mempermalukan diri sendiri di hadapan sejarah yang tak pernah memaafkan.