Langit Karbala merintih dalam kesunyian yang mencekam. Awan-awan kelabu bergulung rendah, seolah-olah bumi dan langit bersatu dalam duka yang tak terkatakan. Matahari siang hari itu redup, terselubung kabut tebal yang berbau darah dan debu, menggantung seperti kain kafan di atas hamparan pasir yang telah menyerap air mata dan darah para syuhada.
Jabir bin Abdullah al-Anshari, sang saksi hidup dari zaman keemasan Islam, melangkah tersedat-sedat di atas tanah Karbala yang masih hangat oleh tragedi. Usianya yang renta telah melengkungkan punggungnya, dan matanya yang rabun kini semakin kabur oleh air mata yang tak pernah kering. Setiap langkahnya adalah penyesalan yang menggenang, setiap nafasnya adalah ratapan atas keterlambatan yang tak terampuni.
“Ya Allah, mengapa Engkau takdirkan aku terlambat? Mengapa aku tidak bisa berdiri di sisi cucumu yang mulia saat ia membutuhkan pedang dan jiwaku?”
Hatinya remuk redam, seperti tembikar yang pecah berkeping-keping namun masih mempertahankan bentuknya. Ia datang dengan niat suci untuk bergabung dengan kafilah Al-Husain (as), untuk mempertaruhkan sisa hidupnya demi membela kebenaran. Namun takdir berkata lain – ia tiba hanya untuk menyaksikan makam-makam yang masih segar, tanah yang masih basah oleh darah para pahlawan.
Tiba-tiba, langit Karbala yang sunyi terpecah oleh suara langkah kaki yang tergesa. Pendampingnya berlari mendekat, dadanya naik turun bagaikan gelombang laut yang bergejolak, nafasnya tersengal-sengal membawa berita.
“Wahai Jabir! Wahai sahabat Rasulullah!” serunya dengan suara yang bergetar antara takut dan harap. “Lihatlah ke ufuk timur! Awan debu mengepul tinggi, membentuk tiang-tiang yang menjulang ke langit! Sebuah kafilah mendekat dari arah Madinah al-Munawwarah!”
Jabir terpaku. Jantungnya berdegup keras, memompa darah yang sudah tua ke seluruh tubuhnya yang gemetar. Dalam sekejap mata, ribuan kemungkinan berkelebat di benaknya. Apakah itu pasukan Yazid yang datang untuk menumpas sisa-sisa perlawanan? Ataukah…
“Ya Rahman, ya Rahim… mudah-mudahan itu adalah keluarga yang tersisa dari Rasulmu…”
Dengan suara yang bergetar bagaikan daun di angin malam, Jabir memerintahkan budak kepercayaannya – seorang lelaki muda yang telah mengabdi padanya bertahun-tahun dengan kesetiaan yang tulus.
“Pergilah, anakku!” bisiknya dengan mata yang berkaca-kaca. “Dekati kafilah itu dengan hati-hati. Jika mereka adalah pasukan Umar bin Sa’ad atau antek-antek Yazid la’natullahi alaih, kembalilah dengan secepat kilat dan beritahu kami – kita harus bersiap menghadapi ajal yang mungkin menanti.”
Suaranya terhenti sejenak, tenggorokannya tercekat oleh emosi yang membludak. Kemudian, dengan nada yang penuh kerinduan dan doa yang terpancar dari lubuk hati terdalam, ia melanjutkan:
“TETAPI…” mata tuanya menatap langit, seolah berbicara langsung dengan Sang Khaliq, “…jika di antara mereka ada Zainal Abidin, putra Al-Husain yang mulia, darah dari darah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, jika bersama mereka ada Sayyidah Zainab dan para wanita suci Ahlul Bait… maka di saat itulah, wahai anakku, engkau merdeka di jalan Allah! Engkau bebas dari perbudakan dunia, sebagai hadiah dari tuanmu yang bahagia!”
Budak itu menatap wajah Jabir yang tergurat kerutan-kerutan kebijaksanaan dan penderitaan. Tanpa berkata-kata, ia memahami kedalaman harapan dan ketakutan yang bergejolak di dada tuannya. Dengan langkah yang tegap, ia bergegas pergi, meninggalkan jejak-jejak kaki di atas pasir Karbala yang masih menyimpan gema tangisan para syuhada.
Waktu berhenti. Detik-detik terasa seperti tahun-tahun yang panjang bagi Jabir. Ia duduk termangu di atas tanah yang suci, matanya yang rabun terus menatap ke arah ufuk, menanti dengan seluruh jiwa raganya. Angin Karbala bertiup pelan, membawa aroma yang campuran – harum tanah suci bercampur bau darah yang belum hilang, kesedihan yang mengental bercampur harapan yang rapuh.
“Ya Husain… cucu Rasulullah yang tercinta… apakah keluargamu yang tersisa akan kembali ke tempat pengorbananmu? Apakah mereka yang selamat dari pembantaian akan datang untuk menapak jejak darahmu?”
Akhirnya, setelah penantian yang terasa seperti kekekalan, sosok budaknya muncul di ufuk. Namun kali ini langkahnya berbeda – tidak tergesa seperti saat pergi, melainkan berat, perlahan, seolah membawa beban yang sangat berat. Wajahnya pucat pias, matanya merah dan berkaca-kaca, bibir yang biasanya tersenyum kini bergetar tak terkendali.
Dengan suara yang serak dan parau, seperti suara orang yang telah menangis terlalu lama, ia berseru:
“Wahai Jabir… wahai sahabat setia Rasulullah…” Suaranya putus-putus, dipotong isakan yang tak sanggup ditahan. “Bangunlah! Siapkan seluruh jiwamu! Bersihkan hatimu dari segala yang mengotorinya! Karena yang datang menuju kita adalah… adalah…”
Ia terhenti, seolah kata-kata terlalu berat untuk diucapkan.
“…adalah Haram Rasulillah! Para wanita suci keluarga Nabi! Zainal Abidin alaihi salam ada di sana, lemah dan kurus bekas penderitaan penjara Yazid. Sayyidah Zainab binti Ali, saudara perempuan Al-Husain, ada di sana dengan mata yang bengkak oleh air mata. Para wanita dan anak-anak Ahlul Bait, yang selamat dari pembantaian, mereka datang untuk… untuk…”
Suaranya terpecah total.
“…untuk merapikan pemakaman sayyidina Al-Husain dan para syuhada…”
Jabir terpaku. Dunia seolah berhenti berputar. Kemudian, seperti petir yang menyambar, kekuatan yang tak terduga mengalir ke dalam tubuhnya yang renta. Seakan jiwa mudanya kembali, seakan semangat masa silam ketika ia berjuang di sisi Rasulullah bangkit dengan dahsyat.
Sandal kulit usangnya dilempar begitu saja. Serban putihnya yang sudah lusuh dijatuhkan ke tanah tanpa peduli. Dengan kaki telanjang dan kepala terbuka, melawan adat kebiasaan seorang lelaki tua terhormat, ia bangkit dan berjalan dengan langkah yang semakin cepat, hampir berlari, menembus debu Karbala yang masih mengental dengan aroma darah dan air mata.
“Ya Allah, berikanlah kekuatan pada kaki tuaku ini. Jangan sampai aku jatuh sebelum mencium tangan para cucu Rasulmu…”
Di kejauhan, samar-samar dalam kabut debu dan panas terik siang, sosok-sosok yang ditunggunya mulai terlihat. Di depan rombongan, seorang pemuda dengan tubuh kurus dan wajah pucat memimpin dengan langkah yang penuh wibawa meski tertatih. Wajahnya yang tampan memancarkan cahaya kenabian, namun tergurat jelas bekas-bekas penderitaan yang mengerikan. Mata yang jernih itu menyimpan kesedihan yang mendalam, namun tetap teguh dan penuh kesabaran.
Di belakangnya, barisan wanita berpakaian serba hitam yang lusuh. Sayyidah Zainab berjalan dengan kepala tegak, meski air mata terus mengalir di pipinya yang pucat. Para wanita Ahlul Bait lainnya mengikuti dengan langkah yang penuh kesabaran, meskipun setiap langkah adalah perjuangan melawan kesedihan yang tak terbatas.
Jabir terhenti, dadanya naik turun hebat. Di hadapannya berdiri keluarga Rasulullah yang tersisa, para korban selamat dari tragedi paling kelam dalam sejarah Islam. Hatinya terbelah antara kebahagiaan yang meledak karena akhirnya bertemu mereka, dan kesedihan yang tak terperikan karena melihat kondisi mereka.
Pemuda yang memimpin rombongan – Imam Ali Zainal Abidin alaihi salam – menghentikan langkahnya. Mata yang penuh luka namun tetap bercahaya itu menatap Jabir dengan penuh kelembutan.
“Apakah engkau Jabir bin Abdullah al-Anshari?” tanya suara yang lembut namun penuh wibawa, suara yang meski lemah tetap memancarkan kemuliaan keturunan Rasulullah.
Jabir tidak sanggup menjawab. Air matanya tumpah bagaikan sungai yang jebol bendungannya. Dengan suara yang bergetar hebat, ia menjawab:
“Benar, wahai Putra Rasulullah! Benar, wahai cahaya mata Sayyidina Ali! Benar, wahai darah dari darah kekasih Allah! Aku Jabir, hamba yang hina, sahabat kakekmu yang mulia, yang datang terlambat untuk mempertaruhkan jiwa di sisi ayahmu yang syahid!”
Imam Zainal Abidin menatapnya dengan pandangan yang menusuk jiwa. Dalam sorot matanya yang jernih, tergambar seluruh tragedi Karbala yang masih membakar. Luka-luka di wajahnya bercerita tentang siksaan yang dialami di penjara Yazid. Tubuhnya yang kurus menceritakan tentang kelaparan dan penderitaan yang ditanggungnya bersama keluarga.
Dengan suara yang lirih, parau, dan mengiris hati, beliau mulai bercerita. Setiap kata yang keluar dari bibir mulianya adalah pisau yang merobek jantung Jabir:
“Wahai Jabir… Demi Allah Yang Maha Menyaksikan segala yang tersembunyi…”
Suaranya terhenti sejenak, napasnya terhambat oleh beban duka yang tak tertanggungkan. Matanya menatap ke arah makam Al-Husain yang belum lama dibuat, kemudian kembali menatap Jabir dengan pandangan yang penuh kepedihan.
“…di padang suci ini, para lelaki kami yang paling mulia diserbu bagaikan binatang buruan. Mereka dibantai tanpa belas kasihan, satu per satu, di hadapan mata para wanita dan anak-anak…”
Suaranya semakin parau, semakin mencekam.
“Di sini, wahai Jabir… di tanah yang sekarang kita pijaki ini… bayi-bayi kami yang masih menyusu disembelih dengan pedang-pedang yang haus darah. Ali al-Asghar, adikku yang masih berusia enam bulan, ditikam dengan panah di tenggorokannya yang mungil saat ayah meminta air untuknya…”
Sayyidah Zainab di belakang Imam mulai terisak, tangisannya memecah kesunyian Karbala bagaikan lagu duka yang tak berujung.
Imam Zainal Abidin melanjutkan dengan suara yang semakin lirih:
“Para wanita kami yang suci, yang selama hidup mereka dijaga bagaikan permata di dalam istana, mereka dihinakan dan dibelenggu seperti budak-budak. Hijab mereka dirampas, kehormatan mereka diinjak-injak. Mereka dipaksa berjalan dari Karbala ke Kufah, dari Kufah ke Syam, dalam keadaan yang memilukan…”
“Kemah-kemah kami, wahai Jabir… kemah-kemah yang menjadi tempat berlindung para wanita dan anak-anak, diobrak-abrik oleh pasukan-pasukan yang telah kehilangan hati nurani mereka. Api melalap habis semua yang kami miliki. Bahkan Al-Qur’an dan tasbih-tasbih kami pun menjadi abu…”
Kesunyian yang mencekam menyelimuti padang Karbala. Hanya terdengar tangisan Sayyidah Zainab dan para wanita Ahlul Bait di belakang Imam, suara yang memecah hati dan menyayat angin kering Karbala. Rintihan mereka bercampur dengan desiran angin, menciptakan simfoni duka yang abadi.
Jabir tidak sanggup lagi menahan penderitaannya. Dengan tubuh yang gemetar hebat, ia jatuh bersimpuh di kaki Imam Zainal Abidin. Air matanya mengalir deras, membasahi debu Karbala yang melekat di wajahnya yang keriput. Tubuhnya terguncang oleh isakan yang perih, bagaikan pohon tua yang diterpa badai.
“Ampunkan aku, wahai Putra Al-Husain! Ampunkan keterlambatanku! Ampunkan ketidakmampuanku untuk melindungimu dan keluargamu!” ratapnya dengan suara yang putus-putus.
Saat itulah, di bumi suci Karbala yang masih hangat oleh darah para syuhada, sejarah mencatat perjumpaan yang memilukan antara sahabat setia Rasulullah dengan keluarga yang tersisa dari tragedi Ashura. Duka Arbain yang pertama terpatri dengan tinta emas dalam lembaran waktu, sebuah tradisi berkabung yang akan terus mengalir hingga akhir zaman.
Jabir, yang datang terlambat untuk berjuang, kini menyaksikan langsung kepedihan keluarga Rasulullah yang selamat dari pembantaian. Kesedihan yang abadi atas pengorbanan Al-Husain dan para syuhada mulai mengalir dari hati Imam Zainal Abidin, Sayyidah Zainab, dan sahabat setia ini, menembus dimensi waktu, menggenangi jiwa setiap pencinta kebenaran dari generasi ke generasi.
Dan di padang Karbala yang sunyi itu, di antara makam-makam yang masih segar, air mata yang tumpah tidak hanya air mata manusia – tetapi juga air mata langit, air mata bumi, air mata sejarah yang mencatat bagaimana kebenaran diinjak-injak, dan bagaimana cinta sejati pada Allah dan Rasul-Nya tetap hidup meski diuji dengan penderitaan yang tak terperi.