Ketika dunia yang zalim memaksa korban yang tanahnya dirampas hampir kehilangan segalanya—kini menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri—untuk berjabat tangan hangat dengan perampoknya, perdamaian hanyalah jeda perlawanan. Ini adalah istirahat singkat sebelum badai berikutnya meledak.
Panggung paling teatrikal dari dilema ini terlihat pada konflik Palestina-Israel. Di sana, Palestina masih belum merdeka, meskipun janji-janji “damai” bertebaran. Perampok—dalam bentuk penjajah yang merebut tanah, rumah, dan martabat sejak dekade-dekade lalu—berpura-pura menawarkan “gencatan senjata” sambil terus membangun wilayah pemukiman baru untuk lebih banyak rampasan.
Korban, rakyat Palestina yang tanahnya dirampok secara sistematis hingga hampir kehilangan semua miliknya dan tak lagi punya kendali di negerinya sendiri, dipaksa menerima “damai” berupa bantuan kemanusiaan yang setetes-setetes. Sementara itu, hak asasi mereka dirampas habis-habisan dan kemerdekaan tetap jadi mimpi yang ditunda-tunda.
Hasilnya: Jeda. Roket beterbangan, tembok beton menjulang, dan “damai” hanyalah jeda untuk mengisi ulang amunisi. Palestina terjebak dalam limbo kolonial yang abadi, tanpa negara merdeka yang diakui sepenuhnya.
“Proses perdamaian” ini memperpanjang penderitaan Palestina, layaknya pernikahan paksa antara pemerkosa dan korbannya, di mana pengantin pria berjanji setia sambil menyembunyikan pisau di balik jasnya. Penjajah terus membangun pemukiman ilegal di Tepi Barat, merampas air dan lahan subur, sementara Gaza dikepung seperti kandang ternak raksasa.
Resolusi PBB yang menuntut penarikan diabaikan seperti tisu bekas. Janji “damai dua negara” sejak Oslo 1993 kini jadi lelucon basi, karena perampok tak pernah serius mengembalikan hak: tanah tahun 1967, Yerusalem Timur, dan hak pengungsi.
Sebaliknya, jeda ini dimanfaatkan untuk memperkuat apartheid modern: check-point yang menghina, pembunuhan extrajudicial, dan ekonomi yang bergantung pada bantuan Barat yang dikondisikan. Palestina belum merdeka karena perampoknya dan sponsor imperialis di baliknya sibuk menjual ilusi stabilitas ke dunia, sambil korban dipaksa berpura-pura puas dengan otonomi terbatas yang lebih mirip penjara mewah.
Intinya, damai sejati menuntut pengembalian hak: tanah ke pemiliknya, sumber daya ke rakyatnya, martabat ke yang direndahkan, dan kemerdekaan penuh bagi Palestina. Tanpa itu, setiap perjanjian hanyalah jeda—seperti jeda iklan di film horor, di mana monster istirahat sebentar sebelum menerkam lagi. Para perampok tahu ini; mereka bangun monumen “perdamaian” di atas reruntuhan hak korban, sambil berharap jeda itu abadi.
Namun sejarah, sang sutradara galak, selalu memutar ulang adegan klimaks, mengingatkan bahwa Palestina yang belum merdeka adalah pendulum detak-detak timer menuju babak perlawanan besar.