Ketika fraksi Syiah melakukan walkout dari sidang kabinet, hal itu bukanlah sekadar gestur pembangkangan politik, melainkan sebuah pernyataan tegas tentang ironi mendalam yang menggerogoti esensi negara Lebanon. Keputusan perdana menteri dan mayoritas kabinet untuk mendukung pelucutan senjata Hizbullah, yang didorong oleh tekanan Amerika Serikat dan Arab Saudi, menyoroti dilema mendasar yang telah lama membayangi Lebanon: dilema antara kedaulatan negara yang rapuh dan kekuatan perlawanan yang efektif.
Ironi pertama yang paling menonjol adalah tuntutan untuk melucuti senjata dari satu-satunya kekuatan yang secara konsisten membela Lebanon dari agresi Israel. Hizbullah, yang berakar dari kekosongan pertahanan negara, telah mengisi celah yang ditinggalkan oleh Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) yang secara historis terpecah-belah dan lemah. Sejak kelahirannya, Hizbullah telah mengambil peran sebagai “Perlawanan” (Al-Muqawamah)—sebuah peran yang memperoleh legitimasi kuat di mata sebagian besar komunitas Syiah dan sekutunya. Keberhasilan mereka mengusir pendudukan Israel dari Lebanon selatan pada tahun 2000, serta kemampuannyauntuk menjadi kekuatan deterensi terhadap agresi Israel yang lebih luas, telah mengubah Lebanon dari negara kecil yang rentan menjadi entitas yang diperhitungkan di kancah regional.
Kini, ironinya adalah bahwa pemerintah yang tidak mampu menyediakan perlindungan yang sama, dan yang sering kali terlihat tunduk pada kepentingan asing, justru menuntut pelucutan senjata dari kelompok yang telah menjadi perisai bagi bangsa. Bagi Hizbullah dan para pendukungnya, tuntutan ini tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga berbahaya. Ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perlawanan yang telah melindungi Lebanon selama beberapa dekade dan sebagai langkah yang akan membuat Lebanon kembali rentan di hadapan musuh lamanya.
Ironi kedua terkait dengan sumber legitimasi dan agenda politik. Sementara pemerintah Lebanon sering kali tampak lebih responsif terhadap tuntutan Washington dan Riyadh—yang memandang Hizbullah semata-mata sebagai proxy Iran dan ancaman regional—legitimasi Hizbullah justru berasal dari keberhasilannya di lapangan dan dukungan rakyatnya. Kekuatan deterensi yang mereka tawarkan memungkinkan Lebanon untuk menegosiasikan batas maritim dengan Israel dari posisi yang lebih kuat, sebuah bukti nyata bahwa keberadaan mereka membawa manfaat strategis bagi negara. Dengan demikian, walkout fraksi Syiah adalah protes yang valid terhadap kebijakan yang mengabaikan suara dan kepentingan komunitas yang diwakili, menunjukkan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan agenda eksternal daripada konsensus nasional.
Ironi ketiga adalah kontras antara retorika kedaulatan dan realitas ketergantungan. Meskipun Lebanon secara konstitusional menjunjung tinggi kedaulatannya, kenyataannya negara ini sangat bergantung pada bantuan asing, yang sering kali digunakan sebagai alat untuk memaksakan kehendak politik. Di sisi lain, Hizbullah, meskipun mendapatkan dukungan dari Iran, membangun narasi perlawanannya berdasarkan kedaulatan dan kemandirian Lebanon dari intervensi asing. Narasi ini beresonansi kuat dengan banyak orang yang merasa bahwa pemerintah telah menjual kedaulatan negaranya demi bertahan secara finansial.
Pada akhirnya, walkout fraksi Syiah adalah sebuah tanda dari kegagalan sistemik yang mendalam. Selama Lebanon tidak mampu membangun militer nasional yang kuat dan dihormati oleh semua faksi, dan selama negara ini terus terjebak dalam ketergantungan asing yang mematikan, keberadaan Hizbullah sebagai kekuatan pertahanan paralel akan terus menjadi keniscayaan. Pertanyaan yang sebenarnya bukanlah mengapa Hizbullah mempertahankan senjatanya, melainkan mengapa negara Lebanon gagal menciptakan kondisi di mana senjata tersebut tidak lagi diperlukan.
Hizbullah melihat dirinya sebagai penjaga martabat dan keamanan Lebanon. Tanpa adanya jaminan bahwa negara dapat memenuhi peran ini, maka melepaskan senjata akan sama dengan menyerahkan Lebanon pada kerentanan.