Di jantung tanah yang diakui sejarawan—lokal maupun global—sebagai saksi bisu tumbuhnya ajaran Syiah, di mana debu jalanan mungkin masih menyimpan gema zikir para wali, tersaji ironi yang melukai nurani. Sebuah keputusan yang mencerminkan ketakberdayaan intelektual dan kekalahan moral di hadapan kompleksitas sejarah.
Sebuah kabupaten, yang identitasnya terpateri dalam naskah kuno dan pengakuan akademis, bahkan mengabadikan nama “Syiah” pada universitas terkemukanya, justru meruntuhkan pilar warisannya sendiri. Dari rahim bumi yang menghidupi tradisi intelektual-spiritual itu, terbitlah surat pernyataan segelintir ulama: memvonis Syiah “sesat” dan melarang seluruh aktivitas komunitasnya.
Ini bukan sekadar kontradiksi. Ini adalah epistemicide—pembunuhan sistematis terhadap pengetahuan dan ingatan kolektif—di tanah yang seharusnya menjadi penjaganya.
Akar Sejarah yang Terkubur
Universitas bernama “Syiah” itu bukan kebetulan sejarah. Ia adalah monumen hidup, pengakuan bahwa akar daerah ini terjalin erat dengan pemikiran dan spiritualitas Syiah. Namanya adalah penghormatan bagi para sarjana, sufi, dan pemuka masyarakat yang pernah menghidupkan tradisi ini dengan kearifan dan dedikasi.
Fakta sejarah membuktikan kedalaman akar Syiah di bumi ini. Kerajaan Perlak, yang didirikan pada tahun 840 Masehi dan diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, telah dikonfirmasi oleh para sejarawan sebagai kerajaan yang bermazhab Syiah. Sultan Alauddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, pendiri dinasti Perlak, beserta para penerusnya menganut dan mengembangkan ajaran Syiah di wilayah itu.
Kerajaan Perlak bukan sekadar entitas politik, tetapi pusat peradaban Islam-Syiah yang menjadi gerbang masuknya Islam ke Asia Tenggara. Dari istana-istana Perlak, ajaran Syiah menyebar dan berakar, membentuk tradisi intelektual dan spiritual yang kemudian menjadi bagian integral dari identitas kawasan ini. Para ulama dan cendekiawan Syiah dari Perlak menjalin hubungan dengan pusat-pusat pembelajaran di Persia dan Iraq, menciptakan jaringan keilmuan yang menghubungkan Nusantara dengan dunia Islam yang lebih luas.
Paradoks di Tanah Para Sultan
Namun kini, di bumi yang pernah menjadi takhta Sultan-sultan Syiah Perlak, di bawah bayang-bayang universitas yang memanggul nama “Syiah”, lahir dekret yang mengingkari warisan yang diabadikan dalam namanya. Sebuah paradoks yang menyakitkan: di tanah tempat kerajaan Islam pertama Nusantara berdiri dengan fondasi mazhab Syiah, kini ajaran yang sama divonis sesat.
Ironi ini semakin mendalam ketika kita menyadari bahwa pelarangan ini terjadi di wilayah yang secara geografis dan historis mewarisi langsung tradisi Kerajaan Perlak. Para Sultan Perlak yang membangun peradaban Islam awal di Nusantara kini seolah dianggap “sesat” oleh fatwa yang lahir dari tanah mereka sendiri. Institutsi pendidikan yang seharusnya menjaga memori kolektif justru menjadi saksi pembunuhan terhadap memori itu sendiri.
Amnesia yang Dipaksakan
Pelarangan aktivitas Syiah di tanah leluhur mereka adalah bentuk amnesia paksa—upaya sistematis memutus mata rantai sejarah dan mengubur identitas kultural-spiritual yang telah membentuk karakter daerah selama berabad-abad. Tindakan ini tidak hanya merampas hak beribadah dan berkumpul saudara-saudari Muslim Syiah masa kini, tetapi juga menghina para leluhur—termasuk Sultan-sultan Perlak—yang membangun fondasi peradaban Islam di wilayah tersebut.
Bayangkan luka nurani ketika vonis “sesat” bergema di atas tanah tempat Sultan Alauddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah pernah memimpin dengan ajaran Syiah, di atas bumi tempat jasad para ulama Syiah terbaring—tanah yang pernah menyaksikan majelis ilmu mereka bersemarak, di mana diskusi teologis dan filosofis mengalir bagai sungai kehidupan intelektual. Ini adalah kekerasan simbolik: pengingkaran terhadap warisan Kerajaan Perlak dan nyawa serta karya yang telah menjadi prasasti sejarah dan bagian integral dari jati diri daerah.
Kontradiksi Kuasa dan Ketakberdayaan
Menjadikan Syiah sebagai sasaran tuduhan kesesatan sambil memutilasi sejarah yang justru menjadi kebanggaan daerah mengindikasikan upaya yang tidak hanya kontradiktif, tetapi juga mencerminkan krisis identitas mendalam. Ini adalah manifestasi dari ketakberdayaan intelektual dalam menghadapi kompleksitas sejarah dan keragaman teologis.
Lebih ironis lagi, di saat yang bersamaan, umat Islam di berbagai belahan dunia kini menyaksikan dan mengapresiasi peran solidaritas yang ditunjukkan oleh Iran, Hizbullah, dan Ansarullah—yang notabene beraliran Syiah—dalam memberikan dukungan nyata kepada umat Islam Gaza yang dikepung, dibantai, dan dilaparkan. Sementara banyak rezim di dunia Islam Sunni memilih berdiam diri, mereka yang divonis “sesat” justru menunjukkan keteguhan dalam membela sesama Muslim tanpa memandang aliran.
Perlawanan Nurani
Membiarkan pelarangan ini tanpa perlawanan nurani berarti merestui pemutusan hubungan dengan masa lalu kita sendiri. Ini berarti menerima bahwa memori kolektif dapat dimanipulasi dan dihancurkan demi kepentingan politik sesaat. Ini berarti mengizinkan epistemicide terjadi di depan mata kita tanpa perlawanan.
Sejarah akan mencatat ironi ini: di tanah tempat Kerajaan Perlak—kerajaan Islam pertama Nusantara yang bermazhab Syiah—pernah berdiri, di bawah naungan universitas yang memanggul nama mereka, tradisi intelektual-spiritual yang telah berabad-abad menjadi bagian dari identitas lokal justru dihukum mati oleh tangan-tangan yang seharusnya merawatnya. Para Sultan Perlak yang membangun gerbang peradaban Islam di Asia Tenggara kini seolah dicap “sesat” di tanah yang mereka wariskan.
Inilah tragedi dari sebuah amnesia yang dipaksakan—ketika sebuah masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri dalam cermin sejarah, bahkan hingga mengingkari para pendiri peradabannya sendiri.