Dua puluh tahun yang lalu, pada sekitar tahun 2005, Sayyid Hassan Nasrallah (SHN), pemimpin Hizbullah Lebanon yang karismatik, menyampaikan pandangan mendalam tentang konsep Wilayatul Faqih (Kewalian Ahli Fiqih) dalam kerangka konstitusi Republik Islam Iran. Pandangan ini, yang disampaikan dalam konteks pidato atau wawancara, bukan hanya sekadar deskripsi historis, melainkan sebuah analisis kritis yang menekankan bagaimana Wilayatul Faqih berfungsi sebagai otoritas formal yang demokratis dan Islami, tanpa unsur pemaksaan.
Latar Belakang Pembentukan Sistem: Visi Imam Khomeini tanpa Pemaksaan
Setelah kemenangan Revolusi Islam dan runtuhnya rezim monarki, Imam Khomeini—semoga Allah meridhainya—memiliki visi lengkap tentang struktur dan masa depan sistem pemerintahan. Visi ini sebenarnya telah ia tuangkan dalam sebuah buku yang ditulis sekitar 40 tahun sebelumnya. Namun, Imam tidak memaksakan pandangannya kepada rakyat. Sebaliknya, ia mengajak referendum umum untuk menentukan identitas sistem baru. Sebelum membahas konstitusi, SHN menekankan pentingnya mendefinisikan identitas sistem terlebih dahulu.
Pertanyaan yang diajukan kepada rakyat Iran dari berbagai kalangan dan aliran adalah: Apa sifat dan identitas sistem yang diinginkan? Di Iran, sebelumnya ada sistem monarki otoriter dan turun-temurun. Apakah rakyat ingin sistem serupa, hanya mengganti raja dengan raja lain? Atau monarki konstitusional seperti yang ada di beberapa negara saat ini? Atau justru sistem republik? Jika republik, apakah identitasnya bersifat ideologis (berbasis agama), atau cukup dengan identitas nasional, peradaban, budaya, atau pemikiran umum?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ditetapkan jadwal referendum umum. Semua aliran politik yang terlibat dalam revolusi menyampaikan pandangan mereka di tengah masyarakat: di universitas, masjid, husainiyah, aula, konferensi, dan demonstrasi. Semua pihak berpidato, menerbitkan studi, menulis di surat kabar, dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat serta menyajikan bukti guna meyakinkan rakyat Iran. Kemudian, referendum dilaksanakan, dengan partisipasi mayoritas mutlak rakyat Iran. Hasilnya: Ya untuk Republik Islam.
Dengan demikian, sistem ini dipilih oleh rakyat Iran sendiri, bukan dipaksakan oleh Wali Faqih. Pandangan SHN di sini menyoroti esensi demokrasi dalam Wilayatul Faqih: otoritas formal yang lahir dari kehendak rakyat, bukan dari kekuasaan tunggal.
Pilar Sistem: Republik dan Islam, dengan Konstitusi Berbasis Rakyat
Setelah rakyat menentukan identitas sistem dengan kehendak yang luar biasa, sistem ini didukung dan diberkahi oleh Imam Khomeini. Sistem tersebut berdiri di atas dua pilar utama. Pertama, republik, yang berarti semua posisi kekuasaan utama di Iran tunduk pada pemilihan rakyat, baik langsung (seperti pemilihan presiden, anggota parlemen, atau dewan kota) maupun tidak langsung (seperti ketika rakyat memilih sekelompok besar ahli fiqih yang kemudian memilih Wali Faqih). Berbeda dengan anggapan umum, di Iran tidak ada posisi kekuasaan utama yang tidak dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pilar pertama ini menegaskan sifat republik sistem.
Pilar kedua adalah Islam, yang berdasarkan nilai-nilai, ajaran, dan hukum Islam yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan era melalui ijtihad pemikiran dan fiqih, dengan mempertimbangkan faktor waktu dan tempat. Iran kaya dengan pemikir besar, ulama fiqih agung, dan mujtahid spesialis.
Berdasarkan identitas sistem baru ini, Imam Khomeini sebagai Wali Faqih menginginkan konstitusi yang tetap dan kokoh. Ia mengajak pemilihan Majelis Ahli untuk menyusun konstitusi Republik Islam Iran, dan majelis ini dipilih oleh rakyat Iran. Rakyat memilih wakil mereka untuk majelis penyusun konstitusi. Majelis tersebut terdiri dari ulama fiqih, ahli hukum, politisi, dan elit beragam, yang datang melalui pemilihan, bukan penunjukan.
Tidak seperti pemimpin di banyak negara yang menunjuk majelis untuk menyusun konstitusi, Imam Khomeini tidak melakukan hal itu. Rakyat yang memilih majelis, dan semua diskusi dilakukan secara terbuka di hadapan rakyat Iran. Setelah menyelesaikan draf, Imam bisa saja langsung menyetujuinya atas nama wakil rakyat, tapi ia tidak melakukannya. Sebaliknya, konstitusi dikirim untuk referendum rakyat baru. Rakyat Iran keluar dengan mayoritas mutlak dan kehendak penuh untuk menyetujui konstitusi Iran yang masih berlaku hingga kini.
Kini, kita memiliki sistem dan konstitusi yang sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat. Peran Wali Faqih di sini terbatas pada pembimbing dan pengatur, tanpa memaksakan kehendak atau pendapat. Bahkan saat voting, ia tidak menggunakan statusnya sebagai Wali Faqih, melainkan sebagai warga biasa yang memilih Republik Islam dan konstitusi.
Implementasi: Pemilu, Negara Hukum, dan Institusi
Pergeseran ke tahap pelaksanaan menunjukkan konsistensi sistem. Pemilihan presiden, parlemen, Majelis Ahli Kepemimpinan (yang memilih dan memberhentikan pemimpin), serta dewan kota dilaksanakan tepat waktu. Saat SHN berbicara (sekitar 32 tahun usia sistem), telah ada 31 pemilu nasional, dan akan ada yang ke-32 untuk parlemen, serta yang ke-33 untuk presiden tahun berikutnya.
Inilah negara Wilayatul Faqih: negara pemilu sejati, dengan partisipasi massa yang tak tertandingi dalam sejarah dunia. Partisipasi selalu melebihi demokrasi tertua dan terpenting di dunia. Pemilu presiden terakhir melibatkan 40 juta warga Iran. Di mana ada pemilu presiden sebesar dan setinggi itu? Ini terjadi di negara Wilayatul Faqih.
Selain itu, negara Wilayatul Faqih adalah negara hukum sejati. Parlemen yang terpilih bekerja siang-malam, menyusun undang-undang yang selaras dengan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah rakyat dan negara. Undang-undang ini dikirim ke Majelis Pengawas Konstitusi untuk verifikasi, yang hanya memeriksa kesesuaian dengan konstitusi dan syariah, tanpa campur tangan detail. Jika bertentangan, dikembalikan untuk revisi, tapi majelis tidak memaksakan perubahan.
Semua lembaga tunduk pada hukum: parlemen, Majelis Pengawas, eksekutif, yudikatif, bahkan Wali Faqih sendiri terikat konstitusi dan hukum, bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Jadi, negara Wilayatul Faqih adalah negara hukum dan institusi sejati.
Di Iran, tidak ada satu orang yang mengelola negara sendirian. Ada kekuasaan legislatif, eksekutif (dipimpin presiden), dan yudikatif yang independen, kuat, dan inisiatif, dengan pemisahan kekuasaan yang nyata. Setiap kekuasaan tahu batas, wewenang, dan tugasnya.
Wali Faqih mengawasi kekuasaan untuk mencegah pelanggaran batas, mengoordinasikan jika diperlukan, menyelesaikan konflik, dan membimbing tanpa campur tangan dalam penyusunan undang-undang, pelaksanaan, atau putusan pengadilan. Kekuasaan bukan milik pribadi, melainkan institusi yang bekerja di bawah konstitusi dan hukum. Semua akuntabel di hadapan lembaga yudisial dan pengawas, termasuk Wali Faqih yang bertanggung jawab atas perilaku pribadi dan bisa diberhentikan oleh Majelis Ahli Kepemimpinan jika kehilangan kualifikasi.
Kesimpulan: Relevansi Pandangan SHN Hari Ini
Pandangan SHN dua puluh tahun lalu ini bukan hanya sejarah, melainkan esai inspiratif tentang bagaimana Wilayatul Faqih sebagai otoritas formal dalam konstitusi Iran memadukan demokrasi rakyat dengan prinsip Islam.
Sistem ini menunjukkan bahwa kepemimpinan agama bisa demokratis, akuntabel, dan efektif, tanpa korupsi atau diktator. Di tengah dinamika global saat ini, pandangan ini tetap relevan sebagai model bagi negara-negara yang mencari keseimbangan antara agama dan pemerintahan modern. Iran membuktikan bahwa Wilayatul Faqih bukan tirani, melainkan fondasi ketahanan nasional.