Dalam konteks Islam Syiah yang diinovasi oleh Khomeini, otoritas tunggal dan universal— melalui konsep Wilayah al-Faqih (kepemimpinan ahli fikih)—telah menjadi pilar utama yang menyatukan umat di seluruh dunia. Konsep yang dipelopori dan diterapkan oleh Imam Khomeini dan dilanjutkan peneraoannya oleh murid utamanya, imam Khamenei yang memegang tiga otoritas (Marja’, Wali Faqih dan Pemimpin tertinggi Iran).
Otoritas sentral ini memungkinkan respons kolektif yang terkoordinasi terhadap isu-isu global, termasuk konflik Palestina-Israel. Meskipun umat Syiah hanya mencakup sekitar 10-15% dari total populasi Muslim dunia, mereka menunjukkan tingkat kesatuan yang kuat.
Dampak nyata dari otoritas tunggal ini terlihat dalam mobilisasi sumber daya, dukungan militer, dan konsistensi sikap ideologis yang sering kali melampaui batas-batas geografis dan etnis.
Dampak pada Kesatuan Aksi dan Politik: Poros Perlawanan
Dampak paling nyata dari otoritas tunggal ini adalah terciptanya kesatuan sikap yang pro-Palestina dan anti-Israel di kalangan Syiah global. Otoritas sentral di Iran telah membentuk dan memimpin apa yang dikenal sebagai “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance), sebuah jaringan yang mencakup kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, serta berbagai milisi di Irak dan Suriah.
Sejak pecahnya konflik Gaza pada Oktober 2023, kelompok-kelompok dalam poros ini telah terlibat aktif dalam aksi militer untuk mendukung Palestina. Aksi-aksi tersebut mencakup serangan roket terhadap Israel dan gangguan terhadap perdagangan maritim di Laut Merah. Dukungan ini bukan sekadar retorika; Iran sebagai pusat otoritas telah menyediakan bantuan militer, pelatihan, dan pendanaan yang memungkinkan respons yang terkoordinasi. Misalnya, sepanjang 2024-2025, Hizbullah dan Ansarullah terus melancarkan operasi-operasi militer sebagai bentuk solidaritas dengan Gaza, meski menghadapi sanksi ekonomi dan serangan balasan dari Israel dan sekutunya. Fenomena ini mencerminkan bagaimana sebuah otoritas tunggal menciptakan kepatuhan global dan disiplin kolektif, di mana seruan Wali Faqih dipatuhi secara luas oleh sebagian besar komunitas Syiah di dunia.
Dampak otoritas tunggal juga merasuk pada tingkat ideologis dan sosial. Tradisi Syiah yang menekankan perlawanan terhadap penindasan (seperti yang tercermin dalam peristiwa Karbala) telah berhasil diintegrasikan dengan isu Palestina, yang digambarkan sebagai simbol perjuangan melawan “kanker Zionis”—istilah yang lazim dalam retorika resmi Iran.
Sejak Revolusi Iran 1979, otoritas ini telah membangun narasi bahwa penghancuran Israel adalah sebuah kewajiban Islam yang universal. Narasi ini bahkan berhasil memotivasi dukungan lintas-sektarian, termasuk kepada kelompok Sunni seperti Hamas. Di tingkat akar rumput, komunitas Syiah di diaspora (Europa, Amerika, dan Asia Selatan) sering mengadakan demonstrasi dan kampanye yang selaras dengan garis kebijakan Iran, menciptakan solidaritas global yang kuat.
Namun, dampak ini tidak sepenuhnya positif. Sanksi internasional yang ditujukan kepada Iran sebagai akibat dari kebijakannya telah menimbulkan penderitaan ekonomi bagi banyak umat Syiah dan diskriminasi sektarian yang digerakkan oleh kelompok ekstremis telah menghambat penerimaan sebagian masyarakat Sunni terhadap komunitas Syiah dan memperlambat rekonsiliasi Sunni dan Syiah. Ironisnya, tekanan eksternal ini justru sering memperkuat narasi pengorbanan bersama dan rasa kesatuan di antara mereka.
Bersambung