Sungguh pemandangan yang menguras haru. Dua kubu yang selama ini saling berseberangan—para penjaga ortodoksi yang getol membentengi umat dari bid’ah, dan para pembela moderasi yang gencar melindungi masyarakat dari radikalisme—akhirnya bersatu pada satu titik temu yang sempurna: memperjuangkan “kuota haji harga mati.”
Siapa sangka? Setelah bertahun-tahun berdebat tentang hal-hal teologis yang kerap memicu ketegangan, kini mereka justru berpelukan dalam satu misi suci. Memang, tidak ada yang lebih menyatukan daripada antrean panjang menuju Baitullah. Dalam barisan calon jamaah haji yang mengular hingga puluhan tahun itu, sekat-sekat mazhab dan organisasi luluh seketika. Yang tersisa hanyalah kerinduan yang sama akan tanah suci, yang sayangnya terhalang oleh realitas pahit bernama kuota terbatas.
Para penjaga akidah, yang biasanya sibuk mengkritik praktik ibadah yang dianggap menyimpang, kini menemukan musuh bersama yang lebih konkret: sistem kuota yang mereka sebut “zalim”. Sementara itu, para pendakwah toleran yang kerap menyuarakan pluralisme, tiba-tiba bersepakat dalam satu suara lantang: menuntut penambahan kuota haji tanpa syarat.
Lihatlah bagaimana kedua kubu itu kini saling merangkul. Mereka yang dulu saling menuding “terlalu liberal” atau “terlalu kaku”, sekarang justru bergandengan tangan. Ironisnya, semangat “rekonsiliasi” ini sering kali hanya sebatas retorika, sementara di balik layar, praktik bisnis kuota haji VIP dengan harga fantastis tetap berjalan, seolah menzalimi hak ribuan calon haji kelas proletar yang setia menunggu giliran dengan sabar, bahkan hingga puluhan tahun.
Pada akhirnya, “harga mati” yang sesungguhnya mungkin bukan lagi pada kuota itu sendiri, melainkan pada hilangnya kesempatan bagi yang tak berpunya, sementara pintu surga seolah-olah bisa dibuka dengan kunci yang terbuat dari emas. Sebuah rekonsiliasi yang mengharukan sekaligus memalukan.