Di kawasan-kawasan kumuh kota besar hingga desa-desa terpencil, fenomena tingginya angka kelahiran di kalangan masyarakat miskin sering kali disederhanakan dengan pepatah “banyak anak, banyak rezeki”. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu membedah dua lapisan penafsiran: yang populer dan yang struktural.
Bila harus diterima dengan penafsiran populer—yang melihat anak sebagai pembawa rezeki material—maka konteks historis menjadi kunci yang tak boleh diabaikan. Pernyataan ini lahir dari suatu era yang sama sekali berbeda, ketika populasi bumi masih jarang, lahan dan sumber daya alam terasa sangat luas, dan tenaga manusia merupakan aset produktif yang paling krusial. Dalam masyarakat agraris tradisional, setiap tambahan anak memang berarti tambahan tenaga kerja untuk menggarap sawah, merawat ternak, dan menjaga orang tua di hari tua. Pada konteks itu, logika tersebut bersifat fungsional dan realistis.
Namun, realitas kontemporer menuntut penafsiran yang lebih realistis dan logis. “Banyak anak, banyak rezeki” dalam konteks kekinian mungkin tidak berarti “siapapun yang punya banyak anak akan otomatis kaya”, melainkan “anak itu sendiri adalah wujud rezeki”, setara nilainya dengan harta. Dalam pembagian “berkah” ini, seolah alam membagi dua jalur: satu jalur harta bagi segelintir orang, dan satu jalur anak bagi banyak orang.
Bedanya, cara punya banyak anak lebih mudah daripada cara punya banyak harta karena syarat dapat anak lebih simpel ketimbang syarat dapat harta. Jangankan banyak, sekadar punya sedikit harta pun tak mudah bagi mayoritas orang. Di sinilah letak realisme dan logika sesungguhnya dari fenomena ini: ketika sistem ekonomi dan sosial menutup rapat-rapat pintu akses menuju akumulasi kekayaan materi, alam justru membiarkan—dan kondisi kemiskinan itu sendiri mendorong—pintu reproduksi terbuka lebar. “Banyak anak” kemudian bukanlah penyebab kemiskinan, tetapi menjadi satu-satunya bentuk akumulasi dan jaminan sosial yang tersedia bagi mereka yang terpinggirkan.
Mekanisme ini terlihat jelas dalam dinamika kehidupan mereka yang terpinggirkan. Di gubuk-gubuk petani, barak pekerja, atau los pasar, keterbatasan ruang dan hiburan bukanlah pilihan gaya hidup, melainkan konsekuensi peminggiran yang memusatkan “produksi” manusia di ruang yang paling minim sumber dayanya.
Pandangan anak sebagai aset ekonomi adalah strategi survival yang rasional dalam ekonomi yang eksploitatif, di mana anak-anak menjadi cadangan tenaga kerja murah. Dalam konteks ini, memiliki banyak anak adalah upaya mengakumulasi “modal” satu-satunya yang dapat mereka miliki.
Karena itu, fenomena ini bukanlah sekadar “mekanisme adaptasi” yang pasif, melainkan sebuah respons rasional dalam kondisi yang sangat tidak setara. Sementara kelas atas dapat merencanakan keluarga dan menginvestasikan harta untuk sedikit anak, kaum miskin menginvestasikan satu-satunya sumber daya yang mereka kuasai—kapasitas biologis mereka—untuk menghasilkan “rezeki” dalam wujud manusia.
Memaksakan penafsiran populer zaman lalu ke dalam realitas zaman sekarang adalah sebuah kekeliruan yang fatal. Ledakan populasi, menyusutnya lahan, dan berubahnya struktur ekonomi telah menjungkirbalikkan logika tersebut.
“Banyak anak, banyak rezeki” dalam makna kontemporer adalah sebuah mekanisme kompensasi yang timbul dari ketidakberdayaan struktural. Ia adalah kritik nyata terhadap sebuah sistem yang gagal memberikan keadilan ekonomi, sekaligus menjadi bukti ketahanan manusia yang menemukan cara untuk bertahan bahkan dalam kondisi yang paling terbatas.
Narasi yang dulu mungkin merupakan strategi survival dalam masyarakat agraris, kini dalam struktur ekonomi modern telah berubah menjadi jebakan yang mencegah mobilitas sosial dan memperdalam jurang ketimpangan.