Dalam masyarakat yang masih terhuyung-huyung di bawah bayang-bayang sejarah, ada satu ironi yang begitu menusuk: kita lebih mudah terpukau oleh gemerlap bahasa penjajah daripada oleh substansi yang kita miliki. Di mimbar-mimbar megah, di hadapan sorotan kamera yang membius, seseorang yang mampu merangkai kata dalam bahasa Inggris dengan fasih, seolah-olah baru saja menelan kamus Oxford, langsung diberi cap “pandai.” Otaknya dianggap brilian, visinya dianggap cemerlang, dan setiap kalimat yang keluar darinya, yang disajikan dengan aksen ala film James Bond, dianggap sebagai mutiara kebijaksanaan. Padahal, kita sering lupa untuk bertanya: apa isinya?
Apakah benar bahwa kejeniusan itu hanya bisa diungkapkan melalui bahasa Shakespeare? Apakah akal budi hanya bisa bersemayam di lidah yang fasih berbahasa Inggris? Kita mengagung-agungkan kemahiran berbahasa asing seakan itu adalah tolok ukur satu-satunya dari kecerdasan. Sebuah pidato, yang meskipun kosong melompong isinya, akan tetap dipuji setinggi langit selama disajikan dengan tata bahasa dan pengucapan yang sempurna. Sementara itu, sosok yang berpidato dengan bahasa ibu, yang mungkin membawa gagasan-gagasan revolusioner dan solusi-solusi brilian, sering kali dipandang sebelah mata. Ia dianggap ketinggalan zaman, kurang kosmopolitan, bahkan mungkin kurang “pintar.”
Mao Zedong, Mahatma Gandhi, Ayatullah Khomeini, Fidel Castro dan beberapa pemimpin besar dunia meskipun mungkin menguasai bahasa asing, memilih untuk menggunakan bahasa mereka sendiri di panggung dunia sebagai simbol kedaulatan, kebanggaan nasional, dan identitas budaya. Mereka percaya bahwa pesan yang kuat dapat disampaikan melalui bahasa ibu mereka, dan tidak memerlukan “legitimasi” dari bahasa lain.
Ini bukan sekadar masalah komunikasi, ini adalah masalah identitas yang tak selesai. Kita masih merasa inferior, merasa bahwa bahasa dan budaya kita sendiri tidak cukup berharga untuk dibawakan ke panggung dunia. Kita seolah-olah ingin meminjam identitas, meminjam kredibilitas, dari bahasa yang pernah mendominasi kita. Ironisnya, di saat kita begitu sibuk memoles aksen, para pemimpin legendaris di panggung internasional justru melakukan hal yang sebaliknya. Mereka berpidato dengan bahasa mereka sendiri, menegaskan kehadiran, kedaulatan, dan kebanggaan mereka sebagai sebuah bangsa. Mereka tahu bahwa substansi tidak butuh pinjaman. Ide yang kuat akan tetap kuat, bahkan jika disampaikan dalam bisikan sekalipun.
Jika kita ingin melangkah maju, kita harus terlebih dahulu berdamai dengan diri sendiri. Kecerdasan dan kebijaksanaan tidak diukur dari seberapa banyak bahasa yang kita kuasai, melainkan dari seberapa dalam kita memahami masalah dan seberapa efektif kita menemukan solusinya. Sudah saatnya kita berhenti menganggap bahasa asing sebagai paspor menuju pengakuan. Mari kita alihkan fokus dari bagaimana sesuatu diucapkan, ke apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Pemimpin sejati tidak perlu meminjam lidah orang lain untuk menggapai langit. Ia cukup berdiri tegak di atas bumi sendiri, dan membiarkan kata-kata dari hatinya yang murni menjadi sayap yang mengangkatnya.