Panas menyengat. AC berderit lemah. Deru klakson membentuk simfoni sumbang yang tak diundang. Dan di sana, jarum penunjuk kecepatan menempel setia pada angka nol. Kemacetan. Lebih dari sekadar antrean kendaraan, ia sering menjadi panggung bagi sebuah ritual kecil yang sangat manusiawi: berdialog dengan diri sendiri, atau mungkin dunia, melalui umpatan di balik kemudi tertutup.
Ini bukan dosa besar yang menggetarkan langit, bukan pula pelanggaran yang mengundang tilang. Ini lebih mirip pemborosan emosi yang sia-sia. Sebuah pelepasan tekanan instan yang, kalau dipikir-pikir lagi, jarang membawa dampak apa pun selain pada diri sendiri. Mengapa sia-sia? Karena target kemarahan kita – mobil yang nyelonong, lampu merah yang terasa abadi, atau bahkan jalan raya itu sendiri – sama sekali tak mendengar, apalagi peduli. Energi marah itu terpantul kembali, hanya mengisi ulang ruang kabin yang sudah sesak.
Ada semacam ilusi privasi dan kekebalan di balik kaca mobil yang gelap, atau tidak begitu gelap. Kita merasa seperti aktor di panggung mini yang tak terlihat. Di luar sana, mungkin kita dikenal sebagai sosok yang sabar, yang tersenyum saat kopi pesanan salah datang. Tapi terjebak dalam kotak logam ini, di tengah lautan kendaraan yang diam, kata-kata tajam bisa meluncur begitu saja. Rem mendadak dari mobil depan? Sebuah gerutuan spontan. Motor yang menyelip sempit? Sebuah keluhan bernada tinggi. Lampu hijau yang enggan datang? Sebuah gumaman panjang yang mungkin disertai tatapan kosong ke depan.
Rasa frustrasi yang sudah menumpuk seharian – deadline yang mencekik, percakapan yang mengganjal, atau sekadar kelelahan – menemukan saluran yang mudah. Kemacetan hanyalah percikan api terakhir yang membakar sumbu pendek itu. Mobil menjadi ruang gema pribadi untuk segala ketidakpuasan, tempat di mana batas-batas kesopanan yang biasa kita jaga seakan mengendur.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi setelah umpatan itu meluncur? Lalu lintas tetap membeku. Lampu merah tak berubah lebih cepat. Mobil di depan tak bergerak lebih cepat. Yang berubah, seringkali, adalah suasana hati kita sendiri. Detak jantung mungkin sedikit lebih kencang, napas mungkin lebih pendek, dan awan kelabu di atas kepala seolah semakin pekat. Pemborosan emosi ini, ironisnya, justru menguras ketenangan yang kita butuhkan di situasi yang sudah menegangkan.
Mengakui bahwa ini adalah kebiasaan yang kurang produktif bukan berarti kita harus tiba-tiba menjadi zen master di tengah jalan tol yang macet. Merasa kesal itu wajar, sangat manusiawi. Yang mungkin bisa dicoba, adalah mengalihkan saluran emosi itu. Sebuah tarikan napas dalam yang sadar. Memutar lagu yang menenangkan atau podcast yang mengalihkan perhatian. Menganggap kemacetan sebagai jeda paksa untuk mengistirahatkan pikiran sejenak, alih-alih arena pertarungan batin. Atau, sekadar mengamati ironi situasi dengan senyum getir – bukankah kita semua terjebak dalam situasi yang sama?
Jadi, ketika kemacetan berikutnya datang dan lidah mulai gatal untuk mengutuk, mungkin ada baiknya diingat: kata-kata panas itu hanya memanaskan kabin kita sendiri, tanpa sedikit pun mencairkan kebekuan di luar. Energi yang terbuang untuk umpatan itu bisa jadi lebih bermanfaat untuk menenangkan diri, atau bahkan sekadar untuk diam sejenak, menyadari bahwa kita semua – bersama segala sumpah serapah dan keluh kesah – sedang berbagi ruang dalam ketidaknyamanan kolektif bernama macet. Ruang kabin yang tenang, meski di luar diam tak bergerak, bisa jadi kemenangan kecil tersendiri.
“Dosa tak perlu” tak berarti ada dosa yang perlu, tapi setidaknya ada perbuatan buruk yang memberikan hasil duniawi meski tetap buruk bahkan mungkin lebih buruk.