Setiap pagi, dengan ritual yang tak pernah berubah, aku menempati kursi di beranda kost ini. Sarung kotak-kotak dan kaos oblong Shanghai yang telah pudar warnanya menjadi semacam seragam kesendirian. Dari sini, aku menyaksikan sebuah parade modernitas yang berlalu-lalang di hadapanku.
Para penghuni kost—lelaki dan perempuan—bermunculan dengan wajah-wajah yang masih basah oleh kesegaran pagi. Mereka berhias rapi, wewangian parfum mereka menyisakan jejak di udara, seolah-olah hendak menaklukkan dunia yang menanti di luar pagar kost ini. Langkah mereka cepat, terukur, penuh tujuan. Motor dan mobil dinyalakan, suara mesin menjadi overture bagi simfoni produktivitas modern.
“Selamat pagi, Pak!” seru mereka kadang-kadang, dengan sopan namun tak sempat menunggu respon. Mereka telah melesat sebelum aku sempat mengangguk balik.
Aku duduk sendiri, seperti sebuah monumen yang terlupakan. Laptop tua terbuka di pangkuanku, jari-jari menari di atas keyboard yang sudah aus. Draft esai di mode private Facebook menjadi teman dialog yang setia. Di dunia yang semakin nyaring, aku memilih untuk menulis dalam kesunyian.
Terkadang mataku tertuju pada sarung yang kupakai. Pola kotak-kotaknya seperti representasi visual dari kotak-kotak waktu yang mengurung manusia modern. Mereka berlari dari satu kotak ke kotak lainnya: kotak kost, kotak kendaraan, kotak kantor, kotak meeting. Sedangkan aku, duduk di perbatasan semua kotak itu, mengamati lalu-lalang sistem yang telah kita ciptakan sendiri.
Ada semacam keberanian dalam keputusanku untuk duduk diam di sini. Bukan keberanian fisik, melainkan keberanian metafisik—untuk menolak diaruskan, untuk tidak terburu-buru mengisi waktu dengan produktivitas yang terukur. Dalam dunia yang menyembah kecepatan, memilih untuk melambat adalah sebuah tindakan subversif.
Mereka mungkin melihatku sebagai yang tertinggal, sebuah relik dari masa silam. Tapi dari kursi kayu ini, justru kulihat dengan jelas: merekalah yang sebenarnya terjebak dalam waktu. Terburu-buru mengejar sesuatu yang belum terjadi, sementara aku memilih untuk sepenuhnya hadir di sini, sekarang, dalam kesederhanaan sebuah pagi yang sama namun selalu baru.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku tetap duduk di sini. Menuangkan kata-kata yang mungkin tak akan dibaca siapa-siapa, menemukan makna dalam kesunyian, dan merayakan kebebasan yang tak ternilai: kebebasan untuk tidak menjadi produktif, kebebasan untuk sekadar ada, dan untuk menyaksikan dunia berlari sambil duduk diam-diam di beranda.