Dalam lanskap politik Indonesia yang penuh gelombang, nama Amien Rais bagaikan mercusuar: memancarkan cahaya terang yang menuntun, namun juga memicu badai perdebatan. Untuk memahami jejak langkahnya, kita perlu menelusuri perjalanan seorang figur multi-dimensi yang menggabungkan kepekaan santri, kecerdasan akademik, dan keberanian politik. Amien Rais bukan sekadar politikus, melainkan perpaduan langka antara ulama yang mendalami kitab kuning, akademisi bergelar doktor dari Universitas Chicago, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan ikon intelektualisme Islam yang berdiri sejajar dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal). Bersama ketiga tokoh ini, Amien membentuk kuartet intelektual Muslim legendaris yang telah memperkaya khazanah pemikiran Islam dan kebangsaan Indonesia.
Amien Rais, lahir pada 26 April 1944 di Surakarta, Jawa Tengah, dibesarkan dalam tradisi keislaman yang kuat. Ia menimba ilmu agama di pesantren, tempat ia mendalami kitab kuning dan nilai-nilai Islam tradisional. Ketertarikannya pada ilmu pengetahuan membawanya menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, lulus pada 1969. Semangat intelektualnya tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan studi ke Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Arts di bidang ilmu politik pada 1974. Puncak perjalanan akademiknya adalah meraih gelar doktor (Ph.D.) di bidang ilmu politik dari Universitas Chicago pada 1984, dengan disertasi yang mengkaji hubungan Islam dan politik di Mesir, sebuah karya yang mencerminkan ketajaman analisisnya terhadap dinamika keislaman global.
Kembali ke Indonesia, Amien Rais membangun karier akademik yang cemerlang di UGM. Ia diangkat sebagai guru besar ilmu politik pada 1990, sebuah pencapaian luar biasa di masa ketika gelar profesor masih sangat langka dan prestisius. Sebagai akademisi, ia dikenal karena pendekatannya yang kritis terhadap isu-isu politik dan keislaman, sering kali mengintegrasikan wawasan global dengan nilai-nilai lokal. Tulisan-tulisannya, seperti buku Tauhid Sosial (1984), menawarkan pandangan tentang bagaimana Islam dapat menjadi landasan bagi keadilan sosial dan perubahan politik, sebuah gagasan yang selaras dengan semangat reformasi yang kemudian ia wujudkan.
Amien Rais bukan hanya akademisi, tetapi juga bagian dari kuartet intelektual Muslim yang mengguncang wacana keislaman Indonesia pada era 1980-an hingga 1990-an. Bersama Cak Nur, Gus Dur, dan Kang Jalal, ia mewakili generasi emas pemikir Islam progresif yang berusaha menjembatani tradisi agama dengan modernitas. Cak Nur, dengan konsep sekularisasi dan “Islam Yes, Partai Islam No,” menawarkan pendekatan inklusif terhadap hubungan agama dan negara. Gus Dur, melalui gagasan kemanusiaan dan pluralisme, memperjuangkan harmoni antaragama dan keadilan sosial. Kang Jalal, dengan kecenderungan filsafat dan kecintaannya pada wacana Syiah, membawa perspektif kritis terhadap ortodoksi keagamaan. Amien Rais, dengan latar belakang politik dan keislaman yang kuat, melengkapi kuartet ini dengan fokus pada hubungan antara Islam, kekuasaan, dan perubahan sosial.
Keempat tokoh ini, meski memiliki pendekatan yang berbeda, memiliki kesamaan dalam keberanian mereka menantang status quo. Amien, misalnya, melalui organisasi Muhammadiyah, memperjuangkan modernisasi pendidikan Islam dan reformasi sosial, sembari tetap berpijak pada nilai-nilai agama. Diskusi dan debat mereka, baik di forum akademik seperti Paramadina maupun di ruang-ruang publik, menjadi katalis bagi munculnya wacana Islam progresif di Indonesia. Amien Rais, dengan gaya retoris yang lugas dan analisis politik yang tajam, sering kali menjadi jembatan antara wacana intelektual dan aksi nyata, sebuah peran yang kemudian terwujud dalam Reformasi 1998.
Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1995–2000), Amien Rais memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam, yang menjadi tulang punggung gerakan Reformasi. Dengan orasi-orasinya yang berapi-api, ia menggerakkan mahasiswa dan masyarakat untuk menuntut perubahan. Ia menjadi salah satu arsitek utama yang menggulingkan rezim Orde Baru di bawah Soeharto pada 21 Mei 1998, mengubah arah sejarah politik Indonesia secara fundamental. Bersama tokoh seperti Megawati Soekarnoputri dan Emil Salim, Amien memimpin demonstrasi yang menekan Soeharto untuk mundur. Keberaniannya menentang otoritarianisme, di saat banyak tokoh lain memilih diam, menjadikannya simbol perlawanan rakyat.
Pada 1998, Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), sebuah wadah politik yang berlandaskan pluralisme dan moralitas, diharapkan menjadi sarana aspirasi rakyat. Namun, ironisnya, ia kemudian terpinggirkan oleh generasi junior yang ia bina, seperti Soetrisno Bachir dan Hatta Rajasa, yang mengambil alih kepemimpinan PAN. Ini adalah paradoks dalam karier politiknya: seorang pendiri yang tersisih oleh ciptaannya sendiri.
Sejak era Reformasi hingga pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Amien Rais memilih posisi dalam posisi tidak populer. Ia dikenal sebagai sosok yang tak segan melawan arus utama, dengan kritikan pedas yang sering membuatnya terisolasi. Pada 2014 dan 2019, ia menyoroti isu-isu seperti ketimpangan ekonomi dan dugaan korupsi di bawah Jokowi, bahkan ketika presiden itu dipuja karena gaya blusukannya. Kampanye 2019GantiPresiden, yang ia dukung, mempolarisasi masyarakat dan membuatnya dicap “Sengkuni” oleh lawan politiknya—merujuk pada karakter Mahabharata yang licik. Label ini, meski negatif, juga mencerminkan keberaniannya mengambil risiko demi prinsip.
Konsistensi Amien juga terlihat dalam pandangan geopolitiknya. Ia menentang dominasi Amerika Serikat, menolak eksistensi Israel, mendukung perjuangan Palestina, dan menunjukkan sikap terbuka terhadap Islam Syiah. Apresiasinya terhadap Iran sejak Revolusi yang dicetuskan Imam Khomeini mencerminkan independensinya dalam melihat dinamika global. Pada 2003, misalnya, ia mengkritik invasi AS ke Irak, selaras dengan sentimen anti-imperialis di dunia Muslim.
Pasca-berakhirnya era Jokowi pada 2024, suara-suara refleksi mulai muncul, mempertanyakan apakah kritik Amien terhadap Jokowi memiliki dasar. Ini adalah momen untuk menilai ulang perannya secara adil. Amien bukan figur tanpa cela. Dukungannya pada gerakan konservatif seperti Aksi 212 (2016) menuai kritik karena dianggap memperdalam polarisasi agama. Namun, kekurangannya adalah bagian dari kompleksitas seorang intelektual dan reformis yang tak pernah takut melawan arus.
Amien Rais adalah mercusuar dalam badai politik Indonesia: menerangi jalan reformasi, namun juga diterpa gelombang kritik. Dengan latar pendidikan yang kokoh, karier akademik yang gemilang, dan peran sebagai ikon intelektualisme Islam bersama Cak Nur, Gus Dur, dan Kang Jalal, ia telah meninggalkan warisan yang kompleks. Ia adalah cerminan dari seorang pemimpin transisi, yang keberanian dan konsistensinya menginspirasi sekaligus mengundang perdebatan. Dalam menilai Amien Rais, kita diajak untuk melihat melampaui dikotomi pahlawan atau penutup, menuju pemahaman yang lebih utuh tentang seorang santri, cendekiawan, dan pejuang yang telah membentuk wajah Indonesia modern.