Istilah tanah air (country), negara (state), dan pemerintah (government) sering disalahartikan sebagai sinonim. Padahal, ketiganya memiliki esensi yang berbeda. Kekaburan ini dapat memicu manipulasi politik atau erosi makna kolektif.
Tanah air adalah ruang budaya, historis, dan emosional yang mengikat kumpulan penduduk. Menurut Johann Gottfried Herder, tanah air mencerminkan jiwa Volk—esensi kolektif dalam bahasa, adat, dan kenangan. Manusia sebagai individu dan masyarakat dalam konteks tanah air adalah penduduk yang terbentuk secara natural melalui faktor kultural, tradisional, dan historis. Ikatan ini tidak memerlukan batas politik formal.
Contohnya, rakyat Palestina memimpikan tanah air meski tanpa negara resmi yang diakui universal. Demikian pula, diaspora Indonesia merindukan budaya Nusantara.
Secara kritis, tanah air bersifat abadi dan afektif. Namun, ia rentan dieksploitasi untuk nasionalisme etnosentris. Loyalitas terhadap tanah air bisa berubah menjadi eksklusi, seperti dalam konflik identitas global. Jadi, tanah air berakar pada emosi penduduk, tetapi berpotensi memicu polarisasi.
Kata semakna dengan tanah air adalah negeri. Perbedaan mendasar antara “negara” dan “negeri” terletak pada cakupan makna dan penggunaannya. Negara merujuk pada entitas politik yang berdaulat, memiliki pemerintahan, dan wilayah yang jelas batasnya. Sedangkan negeri lebih mengacu pada wilayah atau tempat tinggal, seringkali dengan nuansa budaya dan sosial yang lebih kental.
Meskipun kadang-kadang digunakan bergantian, “negara” dan “negeri” memiliki makna yang berbeda. “Negara” lebih merujuk pada entitas politik yang berdaulat, sementara “negeri” lebih mengacu pada wilayah atau tempat tinggal dalam konteks sosial budaya.
Sebaliknya, negara adalah entitas politik formal yang dibangun atas konsensus bangsa sebagai kumpulan warga. Manusia dalam konteks negara adalah warga negara dan bangsa yang diikat oleh asas yang disepakati. Menurut Konvensi Montevideo 1933, negara ditandai oleh wilayah, populasi, kedaulatan, dan pemerintahan. Max Weber menyebut negara memiliki monopoli atas kekerasan sah. Negara lahir dari sejarah modern, seperti Perjanjian Westphalia 1648. Contohnya, pembentukan Timor Leste mencerminkan konsensus warga untuk membentuk entitas politik.
Secara kritis, negara bersifat netral secara emosional, berbeda dengan tanah air. Namun, konsensusnya bisa menjadi alat penindasan jika hanya mencerminkan kepentingan elit, seperti dalam rezim otoriter. Negara adalah kerangka institusional yang mengikat warga melalui kesepakatan.
Pemerintah adalah institusi sementara yang mengelola negara berdasarkan kontrak sosial dengan rakyat. Manusia dalam konteks pemerintahan adalah rakyat yang memberikan mandat kepada pemerintah sebagai pengelola negara. John Locke menegaskan bahwa pemerintah adalah pelayan rakyat yang dapat diganti jika gagal. Contohnya, transisi Reformasi 1998 di Indonesia menunjukkan kuasa rakyat menuntut perubahan.
Secara kritis, pemerintah bergantung pada integritas pengelolanya, sehingga rentan terhadap korupsi. Bahaya muncul ketika pemerintah mengklaim mewakili tanah air atau negara secara mutlak, menciptakan loyalitas buta. Dalam era populisme, pemerintah sering memanipulasi simbol tanah air untuk mempertahankan kekuasaan. Pemerintah adalah alat operasional yang bergantung pada kepercayaan rakyat, sekaligus ujian kewaspadaan mereka.
Perbedaan esensial ini memiliki implikasi mendalam. Tanah air memberikan makna budaya bagi penduduk, tetapi rentan dieksploitasi. Negara menjamin kedaulatan melalui konsensus warga, tetapi bisa menindas jika tidak inklusif. Pemerintah sebagai kontrak sosial adalah alat sementara, tetapi sering menyamarkan kepentingannya sebagai esensi tanah air atau negara. Hannah Arendt memperingatkan bahwa kekaburan ini dapat memicu totaliterisme.
Dalam praktik, pembedaan ini mencegah manipulasi politik. Kritik terhadap pemerintah bukan pengkhianatan terhadap tanah air atau negara. Kesetiaan pada tanah air tidak mensyaratkan dukungan buta terhadap negara atau pemerintah. Pendidikan kewarganegaraan yang kritis diperlukan agar patriotisme tidak jatuh menjadi propaganda. Tanah air adalah jiwa budaya kumpulan penduduk. Negara adalah tubuh politik konsensus bangsa. Pemerintah adalah pakaian sementara kontrak sosial rakyat.
Memahami perbedaan ini secara kritis membangun masyarakat yang sadar dan adil. Cinta pada tanah air tidak mengorbankan kedaulatan negara. Pengawasan terhadap pemerintah adalah tanggung jawab kolektif. Pembedaan ini bukan kemewahan, melainkan keharusan untuk menjaga identitas, kedaulatan, dan kekuasaan.