Ada jaminan yang selalu laris di pasar spiritual: rezeki melimpah bagi mereka yang menjalankan keimanan dengan sungguh-sungguh. Dalam narasi ini, Tuhan bagaikan CEO PT Rezeki Pasti Tiba, perusahaan logistik kosmik yang menjamin pengiriman paket kebahagiaan dunia-akhirat. Tinggal tekan tombol “tawakal”, dan rezeki akan mendarat di depan pintu, tahan banting dari resesi atau inflasi.
Jaminan ini menjadi ladang emas bagi para Content Creator Kerohanian, atau lebih tepatnya, “Influencer Akhirat”. Algoritma mereka konon bukan dari server Meta atau Google, melainkan langsung dari langit ketujuh. Mereka hadir dalam dua varian utama: agamawan sengit dan genit, masing-masing dengan cara unik memasarkan “paket rezeki” ini.
Di satu sisi, ada “Tukang Khotbah Sengit”. Wajahnya penuh amarah, jari telunjuknya menuding bak senapan yang siap menembak pelaku dosa. Kalimatnya diakhiri dengan teriakan “HARAM!” atau “NERAKA!” yang menggema. Kontennya adalah daftar larangan yang lebih panjang dari syarat pinjaman online. Anehnya, semakin keras ia berteriak, semakin banyak penontonnya. Ketakutan adalah clickbait paling ampuh. Penontonnya seperti terhipnotis menonton film horor: merinding, tapi tak bisa berhenti.
Dengan khotbah sengitnya, ia menjanjikan kepastian di tengah dunia kacau, meski sering membuat penonton lebih takut daripada tercerahkan. Hasilnya? Modal bergulir untuk bisnis travel haji dan umroh VVIP dengan omset puluhan miliar rupiah—paket eksklusif lengkap dengan bimbingan langsung dan hotel bintang lima, sambil tetap menyerukan zuhud dari mimbar.
Di sisi lain, ada “Ustadz Genit”. Ia adalah maestro yang memadukan nasihat agama dengan humor mesra dan celutukan nakal. Kritiknya diselipkan di antara lelucon tentang “aurat kurang tertutup” atau analogi syahwat yang membuat ibu-ibu tersipu. Ia menjual spiritualitas dengan kemasan flirting: keimanan diajarkan, sambil menggoda mata penonton. Ini branding ulung—saleh, tapi tetap memikat.
Ceramahnya seperti reality show yang menghibur, membuat penonton lupa mereka sedang “belajar agama”. Gaya hidupnya mencerminkan kesuksesan: koleksi mobil mewah seperti BMW Seri 7 hitam mengkilap atau Toyota Alphard VVIP, rumah di cluster eksklusif, semua didanai super chat dan donasi dari pengagum yang terpesona karismanya.
Bila melihat gaya hidup para baron agama ini, relasi amal baik dengan kemakmuran begitu nyata. Mereka seolah mendapat balasan kontan dari Tuhan, tanpa perlu mengantri kuota rezeki. Mobil-mobil mewah mereka, yang mereka sebut “kendaraan dakwah”, berjejer di garasi megah, sementara bisnis travel VVIP mereka meraup miliaran dari umat yang mendambakan surga. Namun, bila menoleh ke kondisi umum umat, ceritanya berbeda. Kebaikan—atau lebih tepatnya, kepolosan religius—justru akrab dengan kemiskinan dan pemiskinan. Umat yang setia mengikuti khotbah sengit atau ceramah genit sering kali terjebak dalam lingkaran harapan kosong, menyumbang harta mereka untuk “investasi akhirat” sambil berjuang di dunia yang tak kunjung makmur.
Hasilnya? Ekonomi Surga yang sangat duniawi. Monolog tiga jam tentang “Rahasia Rezeki di Malam Jumat” meraup jutaan view dan ribuan super chat. Cerita ajaib tentang keajaiban sedekah, bersumber dari kisah tetangga temennya sahabat, menyebar bak virus di grup WhatsApp. Para agamawan ini—profesi tanpa tes kelayakan resmi—menikmati stabilitas yang tak tergoyahkan oleh disrupsi teknologi. Meski mengajak umat hidup sederhana, mereka mengoleksi SUV tangguh hingga sedan premium miliaran rupiah. Umat bisa diyakinkan bahwa Inilah contoh nyata balasan kontan amal soleh (baca : menganjurkan orang lain beramal soleh, karena menganjurkan juga menshare ajakan amal saleh sama dengan mengamalkan, katanya)
Industri grosir dan ritel agama ini adalah bisnis paling tahan krisis. Resesi global? Tak masalah—umat justru berbondong-bondong mencari “jaminan rezeki”. Aturan pajak baru? Itu cuma distraksi untuk mengurangi donasi.
Para agamawan sengit menjual kepastian melalui ketakutan, sementara yang genit menjajakan harapan dengan hiburan. Keduanya memproduksi komoditas abadi: khotbah sengit untuk memenuhi dahaga ketenangan batin, dan ceramah genit untuk memanjakan hasrat tontonan.
Mereka adalah bukti bahwa di tengah ketidakpastian dunia, pasar paling abadi adalah rasa takut dan hasrat manusia. Dan pasar itu, bagi mereka, adalah rezeki yang—tentu saja—selalu dijamin tiba.