Banyak orang sering kali melewatkan kata-kata asing atau istilah baru yang mereka temui dalam percakapan maupun tulisan. Bukannya mencari tahu maknanya melalui kamus atau mesin pencari, mereka memilih mengabaikannya, seolah-olah kata tersebut hanyalah tamu yang tidak diundang.
Tak mengherankan jika kemudian ada kecenderungan untuk langsung melabeli tulisan atau pembicaraan yang sedikit lebih berbobot dengan sebutan “bahasa tinggi” atau “bahasan tinggi.” Kata-kata ini kerap menjadi alasan untuk menghindar. Akibatnya, konten bermutu pun sering tersisih, bahkan disingkirkan algoritma karena dianggap terlalu rumit.
Padahal, inti masalahnya bukan terletak pada bobot kosakata atau kerumitan topik, melainkan pada kebiasaan. Banyak orang belum terbiasa memperkaya perbendaharaan katanya atau membiasakan diri mengikuti alur logika yang sedikit lebih kompleks daripada obrolan sehari-hari. Begitu berhadapan dengan tema yang serius dan istilah khusus, respons spontan adalah menolaknya mentah-mentah dengan dalih “bahasanya terlalu tinggi.”
Yang menjadi kendala bukan “bahasa tinggi” atau “bahasan tinggi” juga bukan penulis atau pembicara yang kerap dituduh sengaja merumitkan, tapi kemanjaan intelektual. Yang dibutuhkan bukan eskalator bahasa, tapi kesudian untuk sedikit menaikkan level sesuai bobot tema. Dunia pengetahuan tidak menawarkan jalan pintas, hanya proses bertahap yang membutuhkan kesabaran.
