Di antara segala keunikan yang membedakan manusia dari makhluk lain, kemampuan berpikir adalah mahkota yang paling cemerlang. Berpikir memungkinkan kita menyelami lautan ide, merangkai makna dari kekacauan dunia, dan menciptakan perubahan yang mengguncang zaman.
Namun, ironisnya, di tengah gemerlap era digital, manusia modern tampaknya lebih memilih menyerahkan diri pada deru stimulus sensorik ketimbang menyelam ke dalam kedalaman pemikiran. Menonton video telah menjadi ritual harian, sementara membaca tulisan serius—yang menuntut inteleksi—sering kali dianggap beban. Bahkan, ketika terpaksa membaca, banyak yang hanya “melihat” rangkaian huruf, bukan meresapi maknanya. Mengapa ini terjadi, dan apa artinya bagi kita sebagai manusia?
Bayangkan otak kita sebagai sebuah mesin cerdas dengan dua mode operasi, seperti yang dijelaskan oleh Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow. Ada “Sistem 1”, yang bekerja cepat, intuitif, dan haus akan kepuasan instan—seperti ketika kita tersihir oleh video pendek di TikTok atau ledakan warna dalam film aksi. Lalu, ada “Sistem 2”, yang lambat, analitis, dan menuntut usaha—seperti ketika kita merenungi esai filsafat atau mengurai argumen dalam sebuah buku. Sayangnya, dalam kehidupan yang serba cepat, Sistem 1 sering kali menang. Video, dengan segala pesonanya, adalah makanan favorit Sistem 1: cepat, mudah dicerna, dan langsung memanjakan indera. Sebaliknya, teks serius adalah hidangan Sistem 2—membutuhkan kesabaran untuk mengunyah, mencerna, dan menikmati rasa yang lebih kompleks.
Budaya digital kita memperkuat kecenderungan ini. Platform seperti YouTube, Instagram, atau Netflix dirancang untuk menjerat perhatian kita dengan algoritma yang tahu betul bagaimana membuat kita terus menonton. Klip pendek, visual memukau, dan narasi yang mengalir membuat kita merasa “terhubung” tanpa perlu berpikir keras. Sebaliknya, sebuah esai panjang atau artikel akademik terasa seperti mendaki gunung tanpa peta: menantang, melelahkan, dan—bagi banyak orang—kurang menarik. Ini bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita telah terbiasa dengan kenyamanan sensorik yang instan. Membaca secara mendalam membutuhkan keterampilan literasi kritis—memahami konteks, menarik inferensi, menghubungkan ide—yang sayangnya tidak selalu dilatih dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu apakah ini berarti kita telah kehilangan kemampuan untuk berpikir? Tidak sepenuhnya. Di sudut-sudut dunia, masih ada mereka yang menikmati proses intelektual: para cendekiawan yang menyelami teks kuno, penulis yang merangkai ide-ide baru, atau pembaca biasa yang menemukan kegembiraan dalam halaman-halaman buku. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mengajak lebih banyak orang untuk menikmati keindahan berpikir mendalam? Mungkin jawabannya terletak pada cara kita menyajikan ide. Tulisan serius tidak harus kaku atau membingungkan. Dengan sentuhan narasi yang menarik, analogi yang hidup, atau bahkan penggabungan dengan elemen visual, kita bisa membuat teks intelektual sama memikatnya seperti video viral.
Bayangkan jika sebuah esai tentang filsafat ditulis dengan gaya cerita petualangan, atau jika artikel ilmiah disajikan dengan infografis yang memukau. Kita bisa menggabungkan kekuatan Sistem 1 dan Sistem 2—membuat ide-ide kompleks terasa hidup tanpa mengorbankan kedalamannya. Ini bukan tentang menurunkan standar intelektual, tetapi tentang membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk masuk ke dunia pemikiran.
Pada akhirnya, berpikir adalah anugerah yang membuat kita menjadi spesies istimewa. Menonton video mungkin memanjakan mata dan telinga, tetapi hanya dengan berpikir kita bisa memahami dunia dan diri kita sendiri. Mungkin sudah saatnya kita belajar menyeimbangkan antara menikmati stimulus sensorik dan menantang diri untuk menyelami lautan ide.
Text content