Di sebuah rest area yang ramai, di mana aroma kopi arabika bercampur dengan bau bensin, sekelompok anak muda—lima orang, dengan seorang gadis berjilbab yang menawan sebagai pusat perhatian—tengah asyik berbincang. Dalam rentang sepuluh menit, kata “anjing” terlontar lebih dari selusin kali, mengalir begitu saja sebagai sapaan, candaan, atau sekadar pengisi jeda. Sesekali, mereka memolesnya dengan “anjir” atau “anjay”, seolah-olah eufemisme itu dapat meredam kekasaran—mirip seperti menyemprotkan wewangian pada sesuatu yang tak sedap.
Kata “anjing” telah kehilangan makna aslinya sebagai nama hewan. Di tangan mereka, ia menjadi alat serbaguna: penanda kegembiraan, kekesalan, atau bahkan sekadar tanda baca dalam percakapan yang kosong. Ini adalah bahasa anak zaman ini, lahir dari derasnya arus konten digital yang tak tersaring. Dari video-vide pendiam hingga cuitan-cuitan ringan di X, semua serentak menyerap dan mempopulerkan kosa kata ini. Generasi muda, bahkan mereka yang telah dewasa, menyerapnya seperti spons, tanpa mempertanyakan dampaknya.
Namun, masalahnya bukan sekadar pada kekasaran bahasanya. Bahasa yang dangkal mencerminkan pikiran yang turut merosot. Ketika kosa kata hanya berputar pada ungkapan-ungkapan murahan, percakapan pun kehilangan kedalaman. Pikiran yang terbiasa dengan “anjing” sebagai solusi segala ekspresi perlahan lupa merangkai ide-ide yang bermakna. Apa yang dimulai sebagai gaya-gayaan untuk tampil akrab, lambat laun menjebak mereka dalam pola pikir yang sempit, nyaman dalam kebiasaan tanpa substansi.
Di rest area itu dan di banyak area publik, kita tidak hanya mendengar kata “anjing” yang berulang. Kita menyaksikan cerminan sebuah zaman ketika canis loquens—anjing yang berbicara—memang ada di tengah kita. Dan yang paling mengkhawatirkan, mungkin saja kita adalah salah satunya.