Di bangunan kos berlantai tiga ini, aku adalah artefak hidup—rangka purba yang nadinya berdetak perlahan, seperti metronom tua yang enggan mempercepat iramanya. Aku adalah lonceng kuno yang berdenting lembut, setiap ketukannya menggema bagai doa senja yang setia pada liturgi alam.
Para penghuni lain, mereka adalah anak-anak milenial yang lahir dalam deru revolusi digital. Jiwa mereka tumbuh di antara kabel serat optik dan simfoni notifikasi yang tak pernah sunyi. Mereka bagai entitas cyborg yang elegan—mesin turbo bertenaga litium-ion, dengan darah yang mengalirkan plasma data dan getaran elektromagnetik. Sementara aku, mesin analog yang bernostalgia pada waktu, bergerak dalam irama adagio, seperti pendulum yang setia menjaga detik-detik yang dilupakan oleh akselerasi zaman.
Aku adalah konstelasi atom kompleks yang masih berputar dalam kabut eter primordial, terikat gravitasi pada kenangan yang berbau kertas tua dan kontemplasi beraroma kopi tubruk pagi. Mereka, sebaliknya, adalah molekul-molekul yang telah berevolusi melalui lompatan kuantum digital. Entitas yang mampu berada di banyak dimensi sekaligus—di realitas fisik, di ekosistem layar sentuh, di awan virtual yang tak pernah lelap. Jari-jari mereka menari seperti pianis virtuoso di atas kaca ponsel, menembus ruang dan waktu dengan gestur yang hampir sakral. Sementara aku masih merajut mimpi dengan benang-benang sunyi, menatap langit yang perlahan bergeser di antara celah-celah genting, seperti film slow-motion yang tak pernah berakhir.
Pagi ini, seperti pagi-pagi silam, aku duduk tanpa agenda terstruktur, dengan jadwal yang longgar seperti awan cumulus yang mengambang tanpa GPS kosmik. Di teras sempit, singgasana kesendirian yang agung, dari observatorium natural yang megah ini, aku melihat mereka berhamburan seperti partikel bermuatan dalam akselerator hadron raksasa. Langkah mereka memotong udara dengan ambisi yang menderu bagai mesin jet. Mereka mengejar masa depan yang selalu berkedip di ujung jari, di layar yang menyala bagai aurora buatan, di notifikasi yang berdatangan seperti meteor digital yang tak pernah reda menghujani atmosfer kesadaran. “Pagi, om!”, “Permisi”, “Jalan dulu, pak!” dan deru kendaraan terdengar seperti soundtrack di penghujung film kolosal.
Sementara itu, kedua kakiku menapak pada beton yang masih menyimpan kehangatan sisa matahari sore. Aku merasakan denyut bumi yang setia, menjejak pada masa kini yang sederhana namun otentik. Sebuah waktu yang tak pernah terburu-buru, yang tak pernah minta di-update, yang tak pernah perlu di-charge ulang.