Sungguh kasian, orang-orang saleh yang karena tugas berat yang tidak bisa ditinggalkan tak bisa melaksanakan shalat magrib yang waktunya kurang dari 1 jam.
Seiring berjalannya waktu, beberapa ajaran atau interpretasi keagamaan bisa menjadi dogma yang kaku dan tidak lagi relevan dengan kenyataan hidup. Dogma-dogma ini sering kali bukan berasal dari dalil-dalil qath’i (pasti) dalam Al-Qur’an dan Hadits, melainkan dari produk ijtihad yang terlanjur diyakini sebagai kebenaran mutlak.
Ketika dogma semacam ini membelenggu umat, mereka akan kesulitan untuk beradaptasi. Misalnya, dalam konteks shalat Magrib yang waktunya singkat, dogma bahwa “shalat harus selalu tepat waktu, bagaimanapun kondisinya” bisa menyebabkan kecemasan dan rasa bersalah yang tidak perlu. Padahal, Islam menyediakan rukhshah (keringanan) untuk kondisi darurat.
Melepaskan diri dari dogma yang kaku ini berarti mengakui bahwa tujuan syariat (maqashid al-syariah) adalah untuk memudahkan, bukan mempersulit.
Selain melepaskan diri dari dogma yang tidak relevan, penting juga untuk membuka diri terhadap ajaran alternatif. Ini bukan berarti menolak Islam, melainkan mencari pemahaman yang lebih luas dan komprehensif di dalam khazanah Islam itu sendiri.
Ada banyak pendekatan dan interpretasi yang berbeda dalam Islam. Sebagai contoh:
* Fiqih lintas mazhab: Seorang Muslim bisa mempelajari pandangan dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) untuk menemukan solusi yang paling relevan dengan kondisinya. Dalam kasus shalat Magrib, sebagian mazhab membolehkan jama’ shalat (menggabungkan dua waktu shalat) dalam kondisi tertentu, seperti kesulitan yang ekstrem.
* Pendekatan substantif: Daripada fokus pada ritual formal semata, seorang Muslim bisa lebih fokus pada substansi dan tujuan ibadah. Shalat adalah media untuk mengingat Allah SWT dan mendekatkan diri pada-Nya. Jika karena kondisi mendesak seorang Muslim tidak bisa shalat tepat waktu, ia bisa mengutamakan niatnya yang tulus dan tetap menjalin komunikasi dengan Tuhan melalui cara lain.
* Prinsip universal: Mengintip ajaran alternatif juga berarti melihat prinsip-prinsip universal dalam Al-Qur’an dan Hadits. Prinsip seperti “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185) adalah pondasi yang kuat untuk mencari solusi di tengah kompleksitas kehidupan.
Agama Tuhan yang sejati mestinya selaras dengan kompleksitas kehidupan manusia. Islam adalah agama yang paripurna karena ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak hanya yang bersifat ritual. Shalat, puasa, zakat, dan haji adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, tetapi pelaksanaannya tidak boleh mengabaikan realitas dan kondisi manusiawi yang beragam.
Maka, sudah saatnya kita kembali kepada semangat ijtihad yang dinamis, melepaskan diri dari dogma yang membelenggu, dan membuka diri terhadap ajaran alternatif yang ada di dalam khazanah Islam itu sendiri. Dengan demikian, Islam akan terus relevan dan menjadi solusi, bukan masalah, bagi umatnya di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.