Media sosial modern adalah taman hiburan abadi bagi pikiran. Sebuah taman yang diatur oleh algoritma cerdas yang memainkan permainan dua wajah yang cerdik: kegembiraan dan ketenangan.
Di sini, algoritma adalah sutradara thriller. Ia menyajikan konten yang memicu degup jantung—seperti video perkelahian viral yang membuat darah berdesir, atau utas Twitter yang membeberkan skandal mengejutkan. Setiap guliran layar adalah ketegangan baru, setiap notifikasi adalah alarm potensial. Pengguna terjaga dalam keadaan siaga, terdorong oleh rasa ingin tahu yang tak terpuaskan, mencari sensasi berikutnya seperti pemburu mencari mangsa.
Setelah letih berburu, algoritma berubah menjadi sahabat penenang. Ia menghadirkan validasi sosial—deretan like pada foto selfie terbaru, komentar pujian yang membanjiri unggahan prestasi, atau komunitas online yang menerima tanpa syarat. Di sini, pengguna menemukan pelukan digital: video anak kucing yang menggemaskan, rekaman reuni keluarga yang mengharukan, atau konten inspiratif tentang perjuangan hidup. Rasanya seperti kembali ke rumah setelah seharian berpetualang.
Kedua sisi ini diatur dalam koreografi yang sempurna. Setelah terpapar video kericuhan politik yang memicu amarah, algoritma akan segera menyuguhkan konten meditasi atau meme lucu untuk menenangkan. Kegembiraan tanpa henti akan melelahkan. Ketenangan yang monoton akan membosankan. Namun ketika keduanya bergantian dengan harmonis, terciptalah keseimbangan yang membuat pengguna tetap tinggal—terikat dalam siklus abadi antara hasrat akan sensasi dan kerinduan akan kedamaian.
Algoritma memahami bahwa manusia adalah makhluk dengan dua rasa lapar: lapar akan petualangan dan lapar akan kepastian. Contoh nyata: seorang pengguna bisa menghabiskan berjam-jam berganti-ganti antara menonton konten horor yang menegangkan dan video ASMR yang menenangkan. Dengan memberi makan kedua rasa lapar ini secara bergantian, ia menciptakan ketergantungan yang elegan—sebuah lingkaran setan yang begitu halus, hingga terasa seperti pilihan bebas.
Inilah seni mengelola jelata digital: bukan dengan paksaan, tapi dengan memahami irama alami hati manusia, lalu mengarahkan arus emosi seperti sutradara yang mengendalikan alur cerita. Kita menjadi pion dalam permainan psikologis yang canggih, terjebak dalam putaran tanpa henti antara rasa ingin tahu dan kebutuhan akan ketenangan—sebuah siklus yang dengan sempurna memanfaatkan kimiawi otak manusia untuk membuat kita tetap tergantung.