Sejak memperluas area aktivitas intelektualnya sebagai penulis dan pembicara ke media sosial berupa tulisan dan tayangan (video), dia sering mendapat apresiasi juga masukan seperti “Kontennya sih oke, tapi videonya buram,” atau, “Isinya bagus, sayang audionya tak jernih.”
Sejak awal dia menyadari bahwa video yang diambil dengan ponsel standar tanpa clip on yang sebagian diambil oleh teman relawan dari video ceramah umum belum layak dibandingkan dengan kualitas audio dan video para influencer dan para pesohor dunia medsos. Karena itu, dia juga menerima fakta sebarannya yang sangat terbatas.
Komentar seperti “Coba pakai tim profesional!” tentulah ide cemerlang. Tapi dia juga sadar tim profesional itu tak bisa disulap dari udara. Dia tidak sengaja memilih peralatan ala kadarnya demi estetika, tapi situasi detetminan.
Inilah dilema klasiknya : dinilai dengan tolok ukur studio besar, tapi diharapkan beroperasi dengan anggaran warung kopi. Ini mirip dengan koki yang dipuji karena masakannya enak, tapi ditegur karena piringnya bukan kristal. Padahal, dia sudah berjuang dengan kompor camping dan sendok plastik!
Kritik soal “kamera jelek” atau “audio buruk” memang jitu, tapi sering datang tanpa petunjuk jalan keluar. Itu seperti menunjuk ke orang kehujanan sambil bilang, “Eh, kamu basah!”
Alhamdulillah, berkat pengorbanan besar Dwi Navianto dan Baim dan kontribusi tulus Barry Civil, Achmad Rizky Siahaan, Rizky Fardani, Andi Saefudin, Pasky Abimanyu, Abdul Hakim dan beberapa relawan kini kualitas video, audio, lighting, editing, timing dan masalah teknis lainnya mulai bisa ditingkatkan. Tapi tanpa dukungan aktif teman-teman terutama share video-video channel DIALOG, dia menanggung beban moral yang sangat berat bila hasilnya tak sesuai ekspektasi tim yang bekerja all out di baliknya.
Meski usia tak muda dan stamina berkurang, dia tetap konsisten menuangkan pikiran-pikiran yang diharapkan berguna bagi penajaman nalar di bawah arahan para relawan muda dalam beragam produk digital.