Di simpang zaman, angin membisik lara. Gunung membisu, sungai mengeluh, Di antara serakqh puing dan pupusnya cita, serakah mencekik dan arogansi terkekeh jumawa.
Puing harapan berserak, cita para kusuma bangsa retak.
Di ruang reyot guru menabur mimpi,
Di sawah kering, petani menanam doa,
Di jalanan, pedagang kecil tantang gedung.
Di segara, nelayan menjala asa menghadang badai.
Jiwa-jiwa didegradasi sebagai alat produksi oleh modal dan kapitalisme,
dinomerkan algoritma dan Data Raya,
dipensiunkan teknologi dan modernisme, dikremasi globalisme dan dimutilasi oleh materialisme.
Tapi jutaan telapak berkapalan menengadah , paras-paras polos mendongak, dan himne doa melengking dari rongga yang tercekik melantunkan sebuah nyanyian baru.
Kita adalah puisi yang masih ditulis, bukan oleh pena para bromocorah penyembah kuasa, tapi oleh pacul di sawah, oleh dayung di laut, oleh kapur di papan tulis. Kita adalah puisi yang menulis dirinya sendiri, dengan darah, keringat, dan derai doa.