Secara konvensional, kelahiran dipahami sebagai peristiwa biologis, sebuah proses fisik yang terikat pada hukum alam. Namun, kelahiran Nabi Muhammad SAW jauh melampaui batas-batas material tersebut. Beliau bukanlah sekadar entitas manusiawi, melainkan perwujudan cahaya ilahi, sebuah sintesis ontologis antara dimensi transenden (rabbani) dan imanen (insani). Dalam perspektif filsafat, kelahiran Beliau bukan hanya peristiwa temporal, melainkan manifestasi dari esensi ilahi yang mengungkap hakikat keberadaan itu sendiri.
Tiga Tahap Manifestasi Ontologis
Secara ontologis, kelahiran Nabi Muhammad SAW dapat dipahami melalui tiga tahap manifestasi yang saling terhubung. Pertama, kelahiran eksistensial (wilādah wujūdiyyah), di mana beliau adalah Cahaya Muhammad (an-Nūr al-Muhammadi) yang memancar dari Cahaya Pertama (Allah SWT). Ini adalah esensi transendental yang telah ada sebelum penciptaan alam semesta. Kedua, kelahiran spiritual (wilādah rūḥiyyah), di mana beliau adalah ruh superior yang menjadi poros dan sumber kehidupan bagi seluruh jiwa, menjembatani dimensi ilahi dengan realitas spiritual. Ketiga, kelahiran material (wilādah māddiyyah) yang biasa disebut biologis. Dalam tahap ini, beliau adalah entitas ragawi yang ditransmigrasikan dari cahaya suci ke rahim para wanita pilihan, hingga akhirnya lahir di Makkah dari rahim Aminah binti Wahab. Ketiga tahap ini membentuk kesatuan integral di mana dimensi transenden mendominasi tanpa meniadakan realitas imanen.
Wawasan dari Imam Ali bin Abi Thalib AS
Pemahaman mendalam tentang kelahiran transendental ini banyak dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS. Dalam Nahj al-Balāghah (Khotbah 1), beliau menyatakan, “Allah menciptakan Muhammad dan keluarganya dari cahaya-Nya sebelum menciptakan makhluk lainnya. Kemudian, dari cahaya Muhammad itulah, Dia menciptakan segala sesuatu.” Pernyataan ini menegaskan kelahiran eksistensial sebagai realitas primordial yang mendahului segala ciptaan material. Lebih lanjut, dalam Hikmah 147, Imam Ali AS menjelaskan bahwa Muhammad adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati para nabi, merujuk pada kelahiran spiritualnya sebagai ruh penggerak bagi seluruh hierarki kenabian.
Analogi dan Metafora Filosofis
Untuk memahami lebih dalam, kita bisa menggunakan analogi pohon raksasa di padang gurun yang tandus. Akarnya yang menghujam dalam ke bumi mewakili dimensi insani, sementara cabang-cabangnya yang menjulang tinggi menembus langit mewakili dimensi rabbani. Analogi ini menggambarkan kelahiran Nabi SAW di mana dimensi transenden menjadi inti ontologisnya. Pendekatan ini selaras dengan konsep Al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, di mana Nabi Muhammad SAW dipandang sebagai cahaya primordial yang memancarkan esensi ilahi.
Sintesis Being dan Becoming
Dari sudut pandang ontologis, kelahiran transendental Nabi SAW merefleksikan sintesis antara Being (Ada) dan Becoming (Menjadi). Being adalah hakikat yang mutlak, sumber segala eksistensi yang tak terikat waktu, sedangkan Becoming adalah proses terwujudnya dalam dunia material. Dalam diri Nabi, kedua aspek ini menyatu, menyingkap esensi eksistensi. Beliau hadir di dunia ini untuk menerangi kegelapan ontologis—ketidaktahuan manusia tentang asal-usul dan tujuan eksistensi. Kehadiran beliau bagaikan sang surya yang menembus kabut tebal, mengungkap realitas sejati di luar bayang-bayang.
Puncak Manifestasi dan Kesempurnaan
Kelahiran material beliau di Makkah pada Tahun Gajah menjadi wadah bagi pemancaran ilahi ini. Berbagai tanda alam yang menyertai kelahirannya, seperti runtuhnya singgasana Kisra dan padamnya api sesembahan kaum Zoroaster, adalah manifestasi transenden yang menyertai peristiwa material. Puncak sintesis ontologis ini tercapai saat wahyu pertama turun di Gua Hira, di mana aspek rabbani (pesan ilahi) bertemu dengan aspek insani (pengalaman duniawi beliau).
Dengan demikian, kelahiran transendental Nabi Muhammad SAW bukan sekadar peristiwa historis, melainkan pengungkapan hakikat eksistensi itu sendiri, sebuah misteri agung yang senantiasa mengajak kita untuk merenung dan menyadari dimensi transenden dalam diri.