Masyarakat Indonesia, terutama di media sosial, sering kali berspekulasi tentang “dalang” di balik setiap gejolak politik. Ada yang langsung menuding nama tertentu dengan narasi provokatif penuh emosi. Ada pula yang menyebut seseorang sebagai dalang dengan inisial tertentu, disertai informasi yang diyakini benar meski belum terverifikasi. Akibatnya, banyak yang berlomba menjadi sumber narasi paling populer—yang paling banyak disetujui, dibagikan, dan dipercaya.
Spekulasi tentang “dalang” ini bisa saja benar, tetapi sering juga keliru, bahkan berujung pada fitnah yang merugikan. Namun, ada dalang sejati yang luput dari perhatian. Dia bukan tokoh politik, bukan konglomerat, bahkan bukan manusia. Dalang itu adalah algoritma.
Di era digital ini, algoritma menjadi kekuatan tak kasat mata yang membentuk cara masyarakat memandang dunia. Secara sederhana, algoritma adalah serangkaian instruksi matematis kompleks di balik aplikasi seperti Instagram, TikTok, Facebook, atau X yang menentukan konten apa yang muncul di layar ponsel setiap detik. Algoritma dirancang dengan satu tujuan utama: membuat pengguna betah berlama-lama di platform tersebut. Namun tanpa disadari, algoritma juga dapat memicu gejolak sosial dan politik di Indonesia. Dengan memengaruhi opini publik, memperlebar jurang perpecahan, hingga menyebarkan informasi yang menyesatkan, algoritma memiliki peran yang sangat besar dalam dinamika masyarakat Indonesia saat ini.
Saat membuka media sosial dan menemukan unggahan yang seolah-olah memahami pikiran—mungkin tentang politik, isu lokal, atau pandangan tertentu yang diyakini—itu bukan kebetulan belaka. Algoritma belajar dari setiap kebiasaan digital: apa yang disukai, dibagikan, dikomentari, bahkan berapa lama mata menatap suatu postingan. Dari data-data inilah, algoritma kemudian terus menawarkan konten yang serupa dan semakin menguat.
Akibatnya, pengguna sering terjebak dalam apa yang disebut “ruang gema”—sebuah lingkaran tertutup di mana mereka hanya melihat dan mendengar pandangan yang sesuai dengan keyakinan sendiri. Misalnya, seseorang yang sering berinteraksi dengan konten kritik terhadap kebijakan pemerintah akan terus-menerus disuguhi konten serupa, sementara sudut pandang yang lebih berimbang atau mendukung justru jarang muncul di timeline-nya.
Fenomena ini memperdalam polarisasi di masyarakat Indonesia. Perbedaan pandangan yang seharusnya bisa diperdebatkan secara sehat, justru memicu ketegangan antarkelompok yang terbawa hingga ke dunia nyata. Unggahan provokatif di media sosial—seperti tentang isu agama, suku, atau politik identitas—dapat dengan cepat memanaskan suasana, bahkan memicu kerusuhan di berbagai daerah.
Dalam konteks politik Indonesia, dampak algoritma terasa sangat nyata, terutama menjelang pemilu atau pilkada. Algoritma cenderung mempromosikan konten yang membangkitkan emosi kuat, seperti kemarahan, ketakutan, atau kebencian, karena konten dengan muatan emosional tinggi terbukti membuat pengguna lebih aktif mengklik, berkomentar, dan membagikan.
Pola ini tampak dalam dinamika kampanye politik di media sosial, di mana narasi negatif tentang kandidat tertentu—misalnya tuduhan korupsi, isu SARA, atau konspirasi politik—lebih mudah menjadi viral ketimbang program kerja yang konstruktif. Hoaks dan disinformasi pun menyebar jauh lebih cepat daripada fakta yang terverifikasi, karena sifatnya yang sensasional dan provokatif lebih menarik perhatian algoritma.
Isu-isu seperti “penutupan masjid,” “penistaan agama,” atau “komunisme bangkit” di masa lalu memicu protes besar-besaran di Jakarta dan kota-kota lain. Media sosial, dengan dorongan algoritma yang haus engagement, mempercepat penyebaran informasi yang belum tentu benar, hingga berhasil memanaskan suasana politik nasional.
Yang lebih mengkhawatirkan, algoritma dapat membawa seseorang dari posisi netral menuju pandangan yang semakin ekstrem. Fenomena yang disebut “radikalisasi algoritmik” ini terjadi ketika seseorang yang awalnya hanya penasaran dengan isu tertentu, secara bertahap terpapar konten yang semakin radikal karena algoritma terus merekomendasikan konten serupa dengan intensitas yang lebih tinggi.
Meski algoritma memiliki dampak besar terhadap kehidupan sosial dan politik, transparansi mengenai cara kerjanya masih sangat terbatas. Platform-platform besar seperti Meta, TikTok, atau X jarang menjelaskan secara detail bagaimana algoritmanya bekerja. Alasannya beragam: mulai dari rahasia dagang, keamanan sistem, hingga kekhawatiran akan manipulasi jika cara kerjanya diketahui publik.
Ketidaktransparanan ini menciptakan ruang spekulasi dan ketidakpercayaan. Di Indonesia, seringkali muncul tuduhan bahwa algoritma sengaja dikurangi jangkauannya untuk konten tertentu, atau sebaliknya, dipromosikan untuk kepentingan politik tertentu. Tanpa keterbukaan dari platform, sulit bagi publik untuk memverifikasi klaim-klaim tersebut.
Algoritma bukanlah musuh yang harus diperangi. Algoritma pada dasarnya adalah alat yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan bersama jika dirancang dan dikelola dengan tepat. Beberapa platform sudah mulai mengambil langkah mitigasi, seperti menandai konten yang mengandung hoaks, mengurangi distribusi unggahan yang memicu konflik, atau memberikan konteks tambahan pada informasi yang kontroversial. Facebook telah mengembangkan sistem untuk mendeteksi dan membatasi penyebaran konten yang berpotensi membahayakan, meski kerap salah sasaran dan tunduk kepada banyak laporan meski palsu. TikTok juga mulai menerapkan moderasi konten yang lebih ketat untuk isu-isu sensitif kendati kerap tidak teliti. Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih menjadi perdebatan, mengingat kompleksitas bahasa dan konteks budaya Indonesia yang beragam.
Mengatasi dampak negatif algoritma memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah mengembangkan regulasi yang seimbang—cukup tegas untuk melindungi masyarakat dari bahaya disinformasi, namun tidak menghambat kebebasan berekspresi. Platform media sosial berusaha lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengelola algoritma mereka. Sementara masyarakat meningkatkan literasi digital untuk lebih kritis dalam mengonsumsi informasi.
Ketika masyarakat memahami bahwa konten yang mereka lihat telah melalui proses kurasi algoritmik, mereka menjadi lebih sadar untuk mencari perspektif yang beragam dan memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
Pada akhirnya, algoritma adalah cerminan dari sifat manusia dan pilihan yang dibuat oleh pembuatnya. Algoritma dapat memperburuk gejolak sosial karena ia memanfaatkan kecenderungan alamiah manusia untuk mencari informasi yang mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada dan menghindari informasi yang menantang pandangan yang dimiliki. Namun, dengan kesadaran kolektif dan kerja sama yang baik—dari pemerintah, platform teknologi, akademisi, hingga masyarakat luas—algoritma dapat diarahkan untuk mendukung persatuan dan kebersamaan alih-alih perpecahan.
Di Indonesia yang kaya akan keberagaman—suku, agama, bahasa, dan budaya—memahami peran algoritma dalam membentuk opini publik adalah langkah awal untuk menciptakan ruang digital yang sehat. Ruang digital yang tidak hanya menghibur dan menginformasikan, tetapi juga mendamaikan perbedaan dan memperkuat jalinan persatuan.
“Dalang” sesungguhnya mungkin bukan sosok yang diduga selama ini. Dalang itu ada di dalam ponsel, bekerja tanpa lelah setiap detik, membentuk cara pandang terhadap dunia. Dan seperti dalang wayang pada umumnya, algoritma juga memiliki kekuatan untuk menciptakan cerita yang mengharukan atau justru menakutkan—tergantung pada kebijaksanaan sang pengendali.