Fase Pertama: Membangun Imperium
Dimulai dengan kegeniusan khas oligarki bermodal tebal dan nurani tipis. Daripada bersaing secara sehat, rival dipinggirkan via dua senjata sakti: menyesatkan produk lain (seolah-olah semua merek pesaing adalah racun berkedok gula) dan mengkafirkan konsumen yang berani berpindah loyalitas (dikampanyekan sebagai pengkhianat tanpa iman). Hasilnya? Pasar steril dari kompetisi.
Fase Kedua: Monarki Monopoli
Dengan rival tumbang, lahirlah kerajaan bisnis sempurna. Publik—dibombardir iklan dan doktrin—berubah jadi konsumen terbelenggu. Ketergantungan total tercipta: Tak ada pilihan lain, ini satu-satunya yang halal dan benar!Ujungnya? Perusahaan bisa tidur nyenyak sambil mencetak uang.
Fase Ketiga: Arogansi Tanpa Batas
Tanpa saingan, quality control dianggap ritual kuno yang buang-buang waktu. Tak merasa perlu mengeluarkan biaya untuk memperbaiki mutu, kalau konsumen tetap beli. Produk pun diluncurkan seadanya: bahan baku murahan, proses asal-asalan. Karena takut dosa meninggalkan yang antik, tak berani mengeluhkan efek samping seperti linglung dan semacamnya.
Fase Keempat: Pemberontakan Generasi Muda
Lambat laun, akumulasi produk gagal memantik kecurigaan. Konsumen muda—melek internet dan kritis—mulai berani menggugat.
Fase Akhir: Strategi Usang
Ketika pengetahuan teknis mandek, kreativitas dipakai untuk hal spektakuler: memfitnah kompetitor baru (sekalipun mereka lebih unggul) dan mengancam konsumen pembelot (dengan cap “sesat” atau ancaman dikucilkan). Bodohnya stabil! Daripada berinovasi, lebih mudah bakar energi untuk menebar hoaks dan teror psikologis.
Maka lengkaplah siklus industri doktrin: produk sampah* → konsumen sakit → kritik dibungkam dengan ancaman dosa → fitnah jadi senjata.
Bisnis bertahan bukan karena kualitas, tapi karena ilusi yang dipaksakan. Ironisnya, semakin goyah fondasinya, semakin gencar pemiliknya meneriakkan: “Jangan percaya nalar! Ikuti teks! Kami kelompok asli benar.” “Syiah sesat”, “Syiah bukan Islam!”