“Kadang orangnya tak berubah, tapi topengnya jatuh” —Haruki Murakami
Kutipan Murakami ini adalah tamparan halus untuk kita semua yang hidup di teater sosial modern. Ketika seseorang yang kita kagumi tiba-tiba ketahuan berperilaku buruk, kita spontan berteriak, “Dia berubah!” Padahal sebenarnya, orangnya sama saja—hanya topengnya yang copot.
Betapa naifnya kita yang mengira karakter adalah entitas statis yang bisa di-upgrade atau di-downgrade. Kenyataannya, kebanyakan orang adalah koleksi topeng yang terawat baik, dibeli dengan harga diri dan dipoles dengan buku self-help edisi terbaru. Ada Topeng “Profesional” dengan senyum 32 gigi yang selalu siap merespons email di akhir pekan. Ada Topeng “Saleh” yang diunggah di Instagram dengan filter pencahayaan terbaik. Atau topeng paling populer: Topeng “Hidup Sempurna” di mana masalah hanyalah kerikil yang disingkirkan dengan quote motivasi.
Kita hidup di zaman industri kepura-puraan. Di sini, energi yang dihabiskan untuk terlihat baik jauh melebihi energi untuk menjadi baik. Topeng adalah mahakarya seni rupa modern—dibentuk dari plastik harapan, diwarnai dengan pigmen pujian publik, dan dilekatkan dengan semen FOMO agar pas sempurna di wajah. Para pemakainya adalah atlet pencitraan, berlatih keras memastikan senyum mereka selalu diatur pada tingkat ramah 7,5 dari 10.
Masalahnya, setiap topeng punya batas ketahanan. Paparan sinar matahari realitas, guncangan kecil dari ketidaksempurnaan hidup, atau sekadar keringat kegelisahan internal, pada akhirnya melonggarkan perekatnya. Dan ketika topeng itu jatuh—yang mungkin dibuat dari plastik tebal pencitraan—ia tidak hanya menunjukkan wajah tersembunyi, tapi juga betapa lelahnya otot-otot di balik wajah itu menahan beban kepalsuan.
Topeng tidak jatuh dengan dramatis, melainkan dengan bunyi klotak kecil yang mematikan. Dan mendadak, kita semua tahu. Si aktivis lingkungan ternyata menimbun uang hasil suap. Si influencer kesehatan ternyata pecandu gula kronis. Si penasihat pernikahan yang bijak ternyata baru saja mengirim pesan teks yang sangat tidak pantas kepada asistennya. Si agamawan berwajah teduh ternyata memperlakukan para murid bahkan yang sejenis sebagai tempat meludahkan spermanya.
Kita terkejut? Tentu saja. Tapi bukan karena orang itu jahat atau munafik. Kita terkejut karena produksi teaternya gagal. Kita marah bukan karena isi hatinya buruk, tapi karena label kemasannya menipu. Kita telah membayar tiket mahal untuk pertunjukan yang dijanjikan, dan kini hanya melihat teknisi panggung yang menggaruk kepalanya karena lampu sorot mati. Dalam dunia di mana personal branding adalah mata uang dan CV adalah dokumen fiksi ilmiah yang disetujui secara sosial, jatuhnya topeng adalah skandal besar. Ini bukan tentang kebenaran—ini tentang pelanggaran kontrak ilusi.
Maka, untuk para pemegang topeng yang budiman: berhati-hatilah. Jika topeng kita terbuat dari emas murni, jatuhnya mungkin hanya menimbulkan bunyi klontang yang menarik perhatian. Tetapi jika topeng itu hanyalah selembar karton yang dicat tergesa-gesa, jatuhnya akan memperlihatkan tidak hanya wajah asli siapapun yang memakainya, tetapi juga debu dan remah-remah snack yang disembunyikan di sana.
Murakami mengingatkan kita bahwa yang jatuh bukanlah karakter seseorang. Yang jatuh adalah harga tiket yang kita bayar untuk pertunjukan mereka. Yang berubah dalam situasi ini bukanlah karakter aslinya—yang mungkin memang selalu datar, kusam, atau cemas—melainkan pandangan kita. Kita yang selama ini menari bersama bayangan, tiba-tiba dihadapkan pada sosok yang melempar bayangan itu.
Dan sungguh, adakah kebenaran yang lebih tragis sekaligus lucu daripada menyadari bahwa selama ini kita hanya jatuh cinta pada sepotong kostum?
