Dalam sebuah negara modern yang dihuni oleh masyarakat multi-keyakinan, hubungan antara agama dan kekuasaan negara merupakan persoalan mendasar yang menentukan masa depan kehidupan bersama. Berdasarkan prinsip kontrak sosial dan realitas kemajemukan, pemisahan antara otoritas negara dan agama bukan hanya sebuah pilihan politik, melainkan sebuah keharusan logis untuk menciptakan keadilan dan perdamaian.
Dua Sumber Otoritas yang Berbeda
Negara modern memperoleh legitimasi politiknya dari kontrak sosial—sebuah kesepakatan rasional di antara warga negara untuk membentuk otoritas bersama yang bertujuan melindungi hak-hak, menciptakan ketertiban, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Otoritas negara bersifat tunggal, sentral, dan mengikat—hanya ada satu hukum yang berlaku sama bagi semua warga di seluruh wilayah, tanpa memandang latar belakang pribadi.
Sebaliknya, agama bersumber dari keyakinan dan interpretasi inhkusif dan relatif terhadap teks yang mengungkapkan wahyu yang bersifat transendental. Dalam fakta historis, otoritasnya plural, sukarela, dan komunal bahkan sebagian saling menafikan—tidak ada satu suara tunggal yang dapat mewakili seluruh umat beragama. Kepatuhan terhadap norma agama berasal dari kesadaran spiritual individu dan ikatan komunal, bukan dari aturan represif yang punya daya paksa, sebagaimana negara, yang dapat dijatuhkan kepada semua orang.
Problem Multi-Tafsir dan Ketidakmungkinan Menjadi Hukum yang Mengikat
Karakter fundamental agama yang multi-tafsir menjadikannya tidak cocok untuk dijadikan dasar hukum negara. Multi-tafsir bukanlah cacat, melainkan konsekuensi wajar dari teks-teks suci yang bersifat puitis, metaforis, dan terikat konteks zaman tertentu. Namun, ketika satu tafsir agama tertentu diangkat menjadi hukum negara, masalah serius akan muncul:
- Ketidakpastian Hukum: Hukuman untuk tindakan yang sama dapat berbeda tergantung mazhab mana yang berkuasa
- Diskriminasi Sistematis: Kaum minoritas, perempuan, dan kelompok rentan lainnya akan menjadi korban dari tafsir dominan
- Konflik Tak Berujung: Negara akan menjadi medan perebutan tafsir agama yang tidak pernah selesai
Tanpa penafsiran tunggal yang disepakati, agama tidak dapat menjadi sistem hukum yang konsisten dan adil. Negara yang memaksakan satu tafsir agama tertentu pada hakikatnya telah memilih pemenang dalam perdebatan teologis yang seharusnya berada di ranah keyakinan pribadi.
Bahaya Nyata: Kebijakan yang Dipengaruhi Afiliasi Keagamaan
Ketika batas antara negara dan agama kabur, pengelola negara akan cenderung membuat kebijakan yang dipengaruhi oleh afiliasi keagamaan dan sektarian mereka. Dalam praktiknya, ini berarti:
- Alokasi Sumber Daya yang Tidak Adil: Anggaran dan pembangunan lebih diprioritaskan untuk kelompok atau wilayah yang seagama dengan penguasa
- Pemaksaan Nilai Moral: Norma dari tafsir keagamaan tertentu dijadikan hukum yang mengikat seluruh masyarakat
- Pengikisan Rasa Persatuan: Kesetiaan pada bangsa tergantikan oleh kesetiaan primodal pada kelompok agama
Situasi ini mengubah negara dari “rumah bersama” semua warga menjadi “kandang” kelompok mayoritas, menciptakan warga negara kelas satu dan kelas dua berdasarkan keyakinan.
Sekularisme sebagai Solusi Rasional
Pemisahan negara dan agama (sekularisme) adalah jawaban rasional atas masalah ini. Sekularisme bukanlah anti-agama atau ateisme, melainkan prinsip netralitas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dalam negara sekuler:
- Hukum Dibuat Berdasarkan Konsensus Rasional: Kebijakan publik disusun berdasarkan pertimbangan empiris, kebutuhan nyata, dan diskusi rasional untuk kebaikan bersama
- Agama Dilindungi di Ruang Privat: Setiap warga bebas menjalankan ibadah dan keyakinannya tanpa intervensi negara
- Semua Warga Setara di Hadapan Hukum: Seorang Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Atheis, dan penganut keyakinan lain memiliki hak dan kewajiban yang sama
Dengan demikian, sekularisme berfungsi sebagai pelindung bagi semua—baik mayoritas maupun minoritas. Bagi kelompok mayoritas, sekularisme mencegah keyakinan suci mereka diperalat untuk kepentingan politik pragmatis. Bagi kelompok minoritas, sekularisme memberikan jaminan perlindungan dari diskriminasi dan pemaksaan.
Kesimpulan: Menjaga Kemajemukan dengan Prinsip Bersama
Dalam masyarakat multi-keyakinan, pemisahan negara dan agama adalah prasyarat fundamental untuk membangun keadilan dan perdamaian. Dengan mengakui bahwa negara berfungsi mengatur kehidupan duniawi berdasarkan kontrak sosial, sementara agama mengurusi kehidupan spiritual dengan beragam tafsirnya, kita menciptakan ruang yang aman bagi kedua domain tersebut.
Negara sekuler bukanlah musuh agama, melainkan teman hidup yang menjaga martabat setiap keyakinan dengan tidak memaksakan satu tafsir tertentu kepada semua orang. Hanya dengan cara inilah kita dapat membangun masyarakat yang benar-benar adil—di mana setiap warga, dengan segala perbedaannya, merasa memiliki dan diakui oleh negara yang mereka bangun bersama.