Di era digital yang gemar mengabadikan setiap momen, inspeksi mendadak atau “sidak” telah bertransformasi menjadi reality show tak resmi yang lebih menghibur daripada sinetron sore. Baru-baru ini, video viral Menteri Keuangan yang dikenal blak-blakan dan berani di lingkungan kementeriannya memergoki seorang ASN sedang berolahraga di jam kerja, lengkap dengan pakaian olahraga seolah kantor adalah gym pribadi.
Ini bukan sekadar anekdot lucu; ini adalah babak baru dalam serial sidak yang kini dibintangi bupati, wakil bupati, hingga pejabat tinggi, yang tiba-tiba muncul di kantor kelurahan pukul delapan pagi hanya untuk menemukan ruangan kosong atau pegawai asyik scrolling TikTok seolah algoritma adalah misi negara. Dengan sentuhan satire halus, mari kita bedah fenomena ini: bagaimana rendahnya profesionalisme dan “korupsi waktu” ASN telah menjadikan pelayanan publik sebagai komedi tragis, di mana masyarakat adalah penonton yang tak pernah tertawa.
Fenomena ini, yang terekam dalam video-video sidak, menampilkan pola masalah yang berulang seperti skrip sitkom murahan. Pertama, soal absensi: ASN datang terlambat, pulang lebih awal, atau absen tanpa alasan jelas—seolah waktu kerja hanyalah saran, bukan kewajiban. Absensi elektronik, yang seharusnya jadi solusi, justru diakali dengan trik kuno seperti titip absen atau scan cepat lalu kabur. Kedua, aktivitas di luar pekerjaan: bermain ponsel berjam-jam, berselancar di media sosial, belanja online, atau mengatur arisan selama jam dinas, mengubah kantor pemerintah menjadi kafe santai tanpa kopi. Ketiga, etika pelayanan yang memprihatinkan: sikap tidak ramah, kurang responsif, dan nihilnya proaktivitas, di mana warga diperlakukan seperti pengganggu daripada prioritas. Khusus di kelurahan, pemandangan kantor kosong di awal jam kerja adalah pukulan telak—warga yang antre sejak subuh ditinggalkan seperti tamu tak diundang. Ini bukan pelanggaran kecil; ini adalah kegagalan sistemik yang menjadikan julukan “pelayan masyarakat” sebagai ironi pahit.
Akar masalahnya kompleks, multidimensi, dan ironisnya, begitu manusiawi hingga terasa absurd. Budaya kerja permisif telah mengakar, di mana “jam karet” bukan lagi penyimpangan, melainkan filosofi hidup—jam 8 pagi bisa berarti pukul 9, 10, atau kapan pun mood datang. Pimpinan, dari lurah hingga pejabat tinggi, sering gagal menegakkan aturan, terlalu nyaman dengan status quo atau takut kehilangan popularitas di antara staf. Sistem reward and punishment yang lemah memperburuk situasi: tidak ada sanksi tegas bagi yang malas, sementara yang rajin jarang mendapat tepuk tangan. Akibatnya, motivasi kerja merosot. 
Banyak ASN melihat posisi mereka sebagai “jaminan pensiun” bulanan, bukan amanah publik. Proses rekrutmen yang mengandalkan koneksi alih-alih kompetensi menghasilkan SDM yang kurang berkualitas. Beban kerja tidak merata—beberapa ASN bekerja keras seperti kuda pacu, yang lain santai seperti pensiunan dini. Keteladanan pimpinan buruk, akuntabilitas minim, dan sistem absensi yang mudah dimanipulasi melengkapi teater absurd ini, di mana “korupsi waktu” menjadi norma tak tertulis.
Dampaknya terhadap masyarakat bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan pencurian halus terhadap waktu dan harapan. Warga dari desa terpencil, pekerja harian, atau ibu rumah tangga kehilangan waktu dan biaya untuk menunggu sia-sia, bahkan pulang dengan tangan kosong—kerugian yang lebih menyakitkan daripada antrean panjang di warung kopi. Frustrasi ini menggerus kepercayaan publik, menciptakan erosi lambat tapi pasti terhadap legitimasi pemerintah. Ketika rakyat tidak percaya pada hal-hal dasar seperti kantor yang buka tepat waktu, bagaimana mereka bisa mempercayai visi besar pembangunan? Ada pula diskriminasi terselubung: masyarakat biasa kesulitan mengurus dokumen, sementara yang punya “kenalan” dilayani di luar jam—praktik yang lebih mirip mafia daripada birokrasi.
Hambatan administrasi, seperti pengurusan KTP, kartu keluarga, atau akta kelahiran, menciptakan efek domino: tanpa dokumen, warga tidak bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan, atau bantuan sosial. “Korupsi waktu” ini, meski tak melibatkan rekening gendut atau amplop cokelat, sama nyatanya dengan korupsi finansial—waktu rakyat dicuri, kepercayaan tergerus, dan pelayanan publik menjadi lelucon nasional.
Sidak viral mungkin menghibur di media sosial, tapi di balik setiap video ada cerita warga kecewa, birokrasi gagal, dan janji konstitusi yang dikhianati. Video-video yang bikin darah masyarakat mendidih itu menayangkan kantor kelurahan atau puskesmas yang kosong seperti studio reality show tanpa aktor, di mana ASN adalah bintang yang lupa jadwal syuting. Dalam republik ini, waktu bukan hanya uang—ia adalah amanah yang tak boleh dicuri.