Ada ironi yang merayap di zaman digital: karya agung dari ujung dunia mudah dipuji, namun karya sahabat sendiri terabaikan, seolah satu klik untuk mereka terlalu berat.
Mengapa demikian?
- Terlena Candu Digital: Lautan konten yang memicu adrenalin—drama, sensasi, tawa instan—menggoda hati, sementara karya penuh makna tersisih, seakan nilai harus kalah oleh kemudahan.
- Kemalasan Jari: Algoritma menjadi tuan, menyuapi apa yang instan. Tautan sahabat terasa jauh, padahal hanya satu sentuhan di ujung jari.
- Dukungan yang Membisu: Kata “saya mendukungmu” menggema di hati, namun tak pernah lahir sebagai like, share, atau sekadar komentar.
- Beban Komitmen: Berlangganan channel sahabat terasa seperti ikatan abadi, sementara pengabdi ilmu—penabur benih kebijaksanaan—seolah dipaksa memohon demi secercah perhatian.
Lebih ironis, narasi sensitif dan usang figur-figur sejarah Islam masih bergaung, memicu perpecahan dan melanggar anjuran menutup aib. Luka lama diulang, sementara karya sahabat yang membangun jembatan persatuan tenggelam dalam sepi.
Karya bermakna (yang dibiayai oleh beberapa dermawan pejuang dan digarap seerius oleh tim relawan ysng bekerja all out hingga subuh setiap hari dengan imbalan pahala keikhlasan dan sebungkus nasgor) meredup dalam kesunyian, sementara konten hampa menggema. Lautan informasi keruh, namun yang memilih untuk tidak menjernihkannya adalah kita sendiri. Seperti bunga indah di taman tetangga, karya sahabat dipandang, dipuji, namun dibiarkan layu tanpa disiram.