Sebuah stasiun televisi swasta secara konsisten memilih pendekatan jurnalistik yang spesifik, yakni menjadi penyampai narasi keislaman tertentu. Pilihan ini bukanlah tindakan netral, melainkan intervensi budaya dan ideologis yang memengaruhi masyarakat yang beragam.
Pertama, pola liputan terhadap kelompok minoritas keagamaan tertentu terlihat jelas. Narasi yang dibangun bukan sekadar laporan faktual, melainkan disajikan dengan elemen manipulatif dan provokatif. Yang mencolok bukan hanya kontennya, tetapi minimnya respons signifikan terhadap protes dari kelompok tersebut. Keluhan minoritas sering kali lenyap tanpa bekas, mencerminkan ketimpangan kekuatan sosial. Dalam ekosistem media dan kekuasaan, suara yang dominan ditentukan oleh basis massa yang diwakilinya, bukan oleh kebenaran atau keadilan yang diperjuangkan.
Pola serupa diterapkan pada elemen sakral dalam tradisi keislaman Nusantara yang berakar kuat. Jika terhadap kelompok minoritas narasinya menyoroti “kesesatan”, terhadap tradisi tersebut narasinya bergeser ke “penyimpangan” dari bentuk keislaman yang dianggap murni. Respons keras dari komunitas yang terdampak menunjukkan bahwa sasaran dipilih bukan entitas yang bisa diabaikan. Respons itu merupakan pertahanan terhadap tradisi keislaman yang telah mengakar ratusan tahun di wilayah ini, yang merasa otoritas dan khazanahnya diserang secara sistematis.
Titik temu pola-pola ini adalah paham keagamaan yang cenderung puritan dan literal, yang menjadi benang merah liputan tersebut. Stasiun televisi ini tidak hanya melaporkan, tetapi aktif melakukan agresi terhadap keragaman wajah keislaman lokal—dengan tradisi, praktik spiritual, dan penghormatan terhadap tokoh agama—lalu menggantikannya dengan versi yang seragam, kaku, dan mengklaim kebenaran mutlak.
Peristiwa di layar kaca ini merupakan cerminan pertarungan wacana yang lebih luas. Ini adalah perang ideologi yang disiarkan langsung ke ruang domestik. Konfliknya bukan lagi soal akurasi fakta, melainkan siapa yang berhak mendefinisikan bentuk keislaman yang benar. Dengan pilihannya, stasiun tersebut memihak pada satu definisi yang meminggirkan yang lain.
Dengan demikian, tayangan ini telah melampaui peran jurnalistik semata. Ia berubah menjadi ruang ideologi. Setiap segmen berita, narasi, dan narasumber yang dipilih merupakan pernyataan politik: upaya menata ulang pemahaman keagamaan di Indonesia. Dalam frekuensinya yang tenang, bergema revolusi diam-diam yang berpotensi mengikis fondasi keberagaman bangsa.
Entah demi mempertahankan eksistensinya di tengah kuatnya pengaruh dan dominasi platform media sosial dengan menjual kontroversi (hate is money) dan terancam jadi stasiun playstation atau memang berencana menjadi corong dakwah “ajaran satu-satunya yang benar”, yang pasti ada banyak pihak yang dirugikan oleh jurnalisme kebencian.