Kata “gratis” memiliki daya tarik kuat dalam pelayanan publik: pendidikan gratis, kesehatan gratis, bantuan gratis. Namun, pertanyaan mendasar jarang diajukan: dari mana biayanya? Faktanya, tidak ada yang benar-benar gratis. Setiap layanan membutuhkan dana, dan jika kita tidak membayar langsung, pembayaran telah terjadi melalui cara lain—sering tanpa disadari.
“Gratis” adalah penyamaran linguistik yang menciptakan ilusi ada pihak dermawan yang membiayai kesejahteraan kita. Padahal, setiap rupiah untuk program “gratis” bersumber dari rakyat sendiri melalui pajak, cukai, dan retribusi. Kita sudah membayar secara kolektif sebelum layanan diterima. Jadi, layanan gratis sejatinya adalah pengembalian sebagian dari kontribusi kita.
Dampak psikologis kata “gratis” signifikan. Alih-alih merasa sebagai pemilik sah yang berhak atas layanan—karena kita yang membiayai—kita merasa sebagai penerima yang perlu bersyukur. Kita jadi enggan mengkritik kualitas layanan dan melupakan hak untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas. Padahal, seharusnya kita bertanya: “Apakah kualitas ini sebanding dengan kontribusi saya?”
Perjalanan dana dimulai dari pengumpulan (pajak dipotong dari gaji dan pembelian), pengelolaan (sering ada kebocoran karena inefisiensi atau penyalahgunaan), hingga distribusi dengan label “gratis”. Namun, nilai layanan yang diterima sering tidak sebanding dengan setoran awal.
Bayangkan organisasi memotong pendapatan Anda, lalu mengklaim memberi layanan “GRATIS”. Anda pasti protes. Namun dalam pelayanan publik, kesadaran ini lemah karena: jarak waktu, pembayaran tidak langsung, narasi berulang, dan kurangnya transparansi.
Penggunaan kata “gratis” berdampak: menurunkan standar kualitas, mengurangi akuntabilitas, menciptakan ketergantungan psikologis, dan menghambat partisipasi aktif. Kita terperangkap: kualitas stagnan sementara kontribusi terus berjalan tanpa nilai setimpal.
Solusinya sederhana: ganti istilah. Alih-alih “pendidikan gratis,” gunakan “pendidikan yang didanai publik” atau “pendidikan yang sudah kita biayai bersama.” Alih-alih “kesehatan gratis,” gunakan “kesehatan sebagai hak pembayar pajak.” Perubahan bahasa ini mengubah perspektif: kita bukan penerima pasif, melainkan pemilik sah yang berhak menuntut transparansi, kualitas, dan akuntabilitas.
Tidak ada yang benar-benar gratis. Setiap layanan publik adalah hasil kontribusi kolektif kita. Kata “gratis” nyaman tetapi menyesatkan—membuat kita lupa bahwa kita pemilik aktif yang berhak atas layanan berkualitas. Saatnya lebih kritis: sebut dengan tepat, bukan “gratis,” melainkan “sudah kita biayai”—dan oleh karena itu, kita berhak mengharapkan yang terbaik.