Setelah menawarkan konsep otoritas yang dikembangkannya, Imam Khomeini mengembangkan otoritas dalam dua ranah otoritas yang berbeda: otoritas keagamaan informal dan otoritas kenegaraan formal. Pendekatan ini mengubah konsep teoretis menjadi kerangka kerja politik yang praktis dan terstruktur, memberikan landasan bagi sistem pemerintahan Republik Islam Iran.
Otoritas Keagamaan Informal
Otoritas keagamaan informal merujuk pada kewenangan seorang Wali Faqih untuk memberikan panduan spiritual dan moral kepada komunitas Syiah di seluruh dunia, termasuk di Iran. Otoritas ini bersifat alami dan terbatas, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum negara tempat komunitas Syiah berada. Fokusnya adalah pada isu-isu keumatan dan kemanusiaan yang relevan dengan konteks kontemporer, seperti memperkuat eksistensi komunitas Syiah melalui kerja koordinatif sebagai elemen penting bangsa, mendukung asas negara, melakukan perlawanan legal terhadap zionisme dan hegemoni global, serta mengutamakan persatuan umat di atas kepentingan sektarian. Panduan ini diberikan dengan tetap menghormati hukum dan prosedur yang berlaku di masing-masing negara.
Otoritas Kenegaraan Formal
Otoritas kenegaraan formal merupakan pengembangan dari otoritas informal yang diterapkan secara konkret dalam sistem pemerintahan Iran. Otoritas ini diwujudkan dalam bentuk lembaga kekuasaan tertinggi yang disebut Rahbari, dengan pemegangnya dikenal sebagai Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran. Transformasi ini dimungkinkan melalui referendum yang menyetujui konstitusi baru, yang memberikan landasan hukum dan konstitusional bagi kontrak sosial negara.
Sebagai bagian dari konstitusi, otoritas Rahbari mengikat seluruh warga Iran, tidak hanya komunitas Syiah. Pemimpin Tertinggi dipilih oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khobregan), yang anggotanya diseleksi oleh Dewan Garda (Shoray-e Negahban) dan kemudian dipilih melalui proses kontestasi di setiap provinsi. Mekanisme ini memastikan bahwa otoritas formal ini memiliki legitimasi demokratis dan konstitusional.
Imam Khomeini menyusun Konstitusi pada tahun 1979 bekerja sama dengan Majelis Khubregan (Dewan Pakar), dengan menegaskan prinsip “Wilayatul Faqih” yang memberikan wewenang luas kepada Pemimpin Tertinggi sebagai otoritas tertinggi di negara tersebut.
Imam Khomeini berperan dalam menyusun Konstitusi Republik Islam Iran tahun 1979,yang menetapkan “Wilayatul Faqih” sebagai sistem pemerintahan.
Prinsip ini menempatkan kewenangan kepemimpinan negara di tangan”Wali Faqih” (Pemimpin Tertinggi), yang dianggap sebagai pemegang otoritas politik dan religius tertinggi di Iran.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Imam Khomeini meletakkan dasar prinsip Wilayatul Faqih dan menyusun konstitusi awal yang mewujudkan prinsip tersebut, sedangkan konstitusi itu kemudian mengalami amendemen-amendemen yang memperkuat kewenangan Pemimpin Tertinggi.
Secara keseluruhan, inovasi utama Imam Khomeini terletak pada kontekstualisasi doktrin Velayat-e Faqih, yang awalnya merupakan konsep otoritas spiritual terbatas, menjadi model pemerintahan yang terstruktur dan mengikat secara kenegaraan.
Pendekatan ini tidak hanya memperluas peran Wali Faqih, tetapi juga mensistesiskan otoritas keagamaan sebagai legitimasi transenden dan teologis dan akseptabilitas immannen dan antrpologis dalam teidemokrasi sebagai fondasi unik bagi sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang berlaku hingga saat ini.
