Tragedi ambruknya musolla yang merenggut tiga puluh enam nyawa bukan sekadar bencana fisik, melainkan cermin retaknya tata kelola akibat ambiguitas batas kewenangan antara otoritas agama dan negara. Dalam ruang ambigu inilah nyawa manusia menjadi taruhan.
Persoalan mendasar terletak pada ketidakjelasan subjek: apakah pembangunan rumah ibadah bagian dari otoritas agama atau negara? Agama sering ditempatkan sebagai domain sakral otonom, sementara negara hadir dengan regulasi universal untuk keselamatan publik. Ketika dua logika ini tidak bertemu, terciptalah vakum berbahaya.
Aparatur negara kerap gamang menghadapi pembangunan rumah ibadah, mengalami “ketakberanian struktural” dalam menerapkan prosedur formal. Keraguan ini tertanam dalam birokrasi: tidak ada panduan jelas menangani tabrakan antara standar teknis dan klaim otonomi keagamaan. Akibatnya, inspeksi menjadi formalitas dan prosedur saintifik menjadi opsional.
Berbeda dengan otoritas negara yang terstruktur, otoritas agama adalah entitas kabur dengan batas kewenangan tak jelas. Siapa “otoritas agama” sesungguhnya? Ulama, pemimpin ormas, atau donatur? Dalam masyarakat heterogen, tidak ada institusi keagamaan dengan monopoli legitimasi. Lebih problematik, batas kewenangan mereka tidak pernah jelas—apakah mencakup aspek arsitektural dan teknis?
Kekaburan ini menciptakan situasi berbahaya dimana keputusan teknis diambil berdasarkan klaim otoritas agama tanpa kompetensi memadai. Tokoh masyarakat memutuskan desain struktural tanpa konsultasi ahli, sementara negara ragu intervensi. Dalam kekacauan ini, standar keselamatan menjadi korban pertama.
Dalam masyarakat heterogen, ketergantungan pada otoritas agama yang kabur adalah resep bencana. Otoritas negara dan sains harus menjadi utama—bukan pengingkaran nilai keagamaan, melainkan fondasi objektif yang melampaui perbedaan keyakinan. Hukum fisika berlaku sama untuk semua agama, dan hanya otoritas universal yang dapat menjamin keselamatan bersama.
Tiga puluh enam jenazah adalah harga dari sistem yang membiarkan otoritas kabur mengalahkan otoritas jelas. Ini tragedi kesalahan kategorikal—menempatkan keputusan teknis dalam domain spiritual. Komunitas agama tetap berotonomi dalam aspek ritual, namun urusan keselamatan fisik harus sepenuhnya berada dibawah otoritas negara dan sains yang tidak bisa dinegosiasikan.