Tradisi Pasca-Mulla Sadra
Pasca-Mulla Sadra, tradisi filsafat Syiah terus berkembang melalui generasi demi generasi pemikir cemerlang, melahirkan sejumlah filsuf penting yang melanjutkan dan mengembangkan warisan intelektualnya.
Mulla Hadi Sabzawari (1797-1873 M) dianggap sebagai filsuf terbesar abad ke-19. Karyanya, Sharh al-Manzumah, menjadi teks standar dalam kurikulum filsafat di hauzah ilmiah hingga kini. Dialah yang berjasa mempopulerkan dan mensistematisasikan pemikiran Mulla Sadra bagi generasi berikutnya.
Mulla Mohsin Fayz Kashani Abad ke-17 M Murid dan menantu Mulla Sadra; dikenal sebagai teolog, ahli hadis, dan filsuf yang karyanya banyak membahas etika dan irfan.
Mulla Abd al-Razzaq Lahiji Abad ke-17 M Murid dan menantu Mulla Sadra; filsuf dan teolog yang berkontribusi dalam menyebarkan pemikiran Mulla Sadra.
Akhund Khurasani Abad ke-19/20 M Murid dari Mulla Hadi Sabzavari; dikenal sebagai seorang marji’ (otoritas keagamaan) dan ahli hukum.
Mirza Mahdi Ashtiyani (1888-1953) adalah salah satu filsuf terbesar pasca-Mulla Sadra yang menjadi pilar utama Mazhab Filsafat Tehran. Melalui pengajarannya di madrasah-madrasah ternama seperti Marvi dan Sepahsalar, serta karya-karyanya yang banyak berupa komentar mendalam atas teks-teks klasik seperti Asfar dan Syifa’, ia berperan penting dalam melestarikan, menyebarkan, dan meneruskan warisan filsafat Islam, terutama Sadraisme, kepada generasi berikutnya di era modern.
Imam Khomeini (1902-1989) adalah seorang filsuf dan pemikir besar pasca-Mulla Sadra yang melanjutkan tradisi filsafat Islam dengan menguasai disiplin ilmu filsafat (hikmah), irfan (mistisisme), dan etika. Ia mempelajari karya-karya Mulla Sadra dan Ibnu Arabi di bawah bimbingan guru-guru seperti Mirza Ali Akbar Yazdi. Khomeini tidak hanya mengajarkan filsafat politik dan etika selama beberapa dekade di seminari Qom, tetapi juga mengembangkan pemikiran filosofis-politisnya yang khas, velāyat-e faqīh (guardianship of the jurist), yang menjadi landasan teoretis bagi berdirinya Republik Islam Iran. Khomeini tidak hanya mewarisi tradisi intelektual filsafat transendental Mulla Sadra, tetapi juga mengaktualisasikannya dalam sebuah revolusi sosial-politik yang mengubah lanskap politik modern.
Allamah Muhammad Husayn Thabathaba’i (1903-1981 M) adalah filsuf abad ke-20 yang monumental. Karyanya, Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, menjadi textbook filsafat modern, sementara al-Mizan adalah magnum opus dalam tafsir Al-Qur’an. Dialah yang memperkenalkan filsafat Islam Sadraisme kepada dunia Barat melalui dialog dengan Henry Corbin.
Para filsuf inilah yang menjamin kelangsungan tradisi filsafat Islam hingga abad ke-21, membuktikan bahwa filsafat Islam tidak pernah berhenti pada Mulla Sadra.
Kebangkitan Filsafat Islam di Panggung Internasional
Kebangkitan dan pengenalan filsafat Islam Syiah ke panggung dunia internasional tidak dapat dilepaskan dari peran tiga tokoh monumentalnya: Imam Ruhollah Khomeini dan Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i juga Ayatullah Muhammad Baqir Sadr dengan magnum opusnya Falsafatuna. Mereka memperkenalkan filsafat Transendentalisme Sadra ke dunia Barat dan Islam, serta mencetak puluhan filsuf besar yang namanya membahana hingga kini, antara lain Murtadha Mutahhari, Muhammad Hosein Beheshti, Muhammad Taqi Ja’fari, Jalaluddin Ashtiani, Mehdi Haeri Yazdi, Syed Hossein Nasr, Hasan Zadeh Amoli, Abdullah Jawadi Amoli, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan Ali Khamenei.
Pasca Muthahari
Di hawzah Qom sekarang, dinamika pemikiran filsafat terus berlangsung. Ada du kecenderungan di dalamnya Pertama; sekelompok filosof yang berperan sebagai advokat (mufassir) murni filsafat Mulla Sadra tanpa melakukan penambahan apapun di dalamnya apalagi kritik. Kedua; sekelompok filosof yang hanya mengkiritisi sebagian argumen Mulla Sadra atau sistematika bukunya menyangkut pola pembagian dan pengurutan sub tema.
Ketiga; para filosof yang melakukan kritik dan “berusaha” mengubah sebagian stuktur bangunan filsafat, dengan menawarkan sistematika baru dalam penyajian dan pengajaran filsafat. Kelompok ketiga ini juga terus melemgkapi diri dengan wacana-wacana filsafat dan pemikiran kontemporer, seperti Marxisme, fernomenologi, eksistensialisme, filsafat analitik, mazhab Farnakfrut, Postmodernisme dan sebagainya.
Meski demikian, tiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang merupakan prinsip Mazhab Qom, Ashalah Al-wujud dan Tasykik Al-wujud (gradasi wujud) serta Al-Harakah Al-Hawhariyah. Meski boleh jadi pembagian dan tipologi ini tidak mesti sepenuhnya benar dan real, namun setidaknya indikasi-indikasinya dapat dilihat dengan mudah dalam polemik-polemik filsafat di Iran dalam 2 dekade terakhif.
Kesimpulan
Sudah saatnya para pengkaji filsafat, baik dari Barat maupun dari dunia Islam sendiri, memperluas cakrawala penelitian mereka untuk mencakup tradisi-tradisi yang selama ini terabaikan. Filsafat Islam tidak mati dengan Ibnu Rusyd; ia justru terus berkembang dengan subur dalam tradisi Syiah, menghasilkan pemikir-pemikir besar dan sistem-sistem filosofis yang sophisticated hingga hari ini.
Memahami kontinuitas dan vitalitas tradisi filosofis Syiah bukan hanya penting untuk melengkapi gambaran historis yang lebih akurat, tetapi juga untuk memperkaya dialog filosofis kontemporer dengan perspektif-perspektif yang mendalam, orisinal, dan relevan. Hanya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan komprehensif inilah kita dapat benar-benar memahami kekayaan dan kompleksitas tradisi filsafat Islam dalam segala dimensinya.