Menasihati orang lain adalah perbuatan mulia—setidaknya begitulah yang tertulis dalam setiap manual kebajikan sejak zaman Confucius hingga era influencer moral di media sosial. Kitab suci pun berisikan nasihat dan menganjurkan untuk saling menasehati. Namun, seperti resep rendang Padang yang tak bisa disulap hanya dengan niat baik dan MSG, menasihati pun memiliki terms and conditions yang lebih panjang dari kontrak aplikasi yang tak pernah kita baca. Syarat dan ketentuan ini berlaku untuk: si pemberi nasihat (yang mungkin sedang mencari panggung), si penerima (yang mungkin tak meminta pertunjukan), bekal (apakah cukup kredibel atau hanya bermodalkan quote Instagram), cara (apakah dengan empati atau megafon), sarana (tatap muka atau broadcast tanpa mute button), tempat (privat atau pertunjukan publik), waktu (tepat atau mengeksploitasi kerentanan), dan tujuan di baliknya.
Tanpa mematuhi itu, menasihati bisa saja bermetamorfosis menjadi:
1. Menindas agar tak bersikap kritis – karena pemikir bebas adalah ancaman bagi mereka yang menjual paket kebenaran instan.
2. Mengendalikan agar tak melawan – nasihat sebagai kendali jarak jauh, remote control dengan baterai superioritas moral.
3. Menggurui agar merasa bodoh – sebab tak ada yang lebih memuaskan daripada melihat seseorang merasa perlu buku pedoman untuk hidupnya sendiri.
4. Merendahkan agar merasa di bawah – hierarki spiritual perlu dijaga, bagaimana lagi si penasihat bisa duduk di singgasana kebenaran?
5. Mempermalukan agar terbunuh karakternya – eksekusi publik telah berevolusi, kini cukup dengan “Aku bilang ini demi kebaikanmu” di depan audiens.
6. Menanam budi agar bisa mengklaim andil bila kelak sukses – investasi jangka panjang dengan dividen berupa kalimat, “Ingat kan dulu aku yang bilang…”
7. Memohon dihormati agar percaya dirinya terdongkrak – karena ternyata harga diri bisa naik lewat menurunkan orang lain beberapa tingkat.
8. Menyalurkan dengki agar hasrat merampas kesuksesannya terpenuhi – nasihat sebagai sabotase terselubung, racun yang dibungkus dengan pita “kepedulian”.
9. Mengalihkan perhatian dari masalah diri sendiri – seperti pesulap ulung, menunjuk kekurangan orang lain agar tak ada yang melihat topeng retak di wajahnya.
10. Menampilkan diri baik atau lebih baik – karena validasi adalah oksigen, dan tanpanya ia akan sesak napas di ruang hampa relevansi.
11. Menyindir pihak tertentu dengan kedok nasihat – strategi pasif-agresif tingkat dewa: menikam A dengan menggunakan B sebagai sarung pedang.
12. Mengungkapkan aib dengan kedok kepedulian – gosip telah berevolusi, kini hadir dengan kemasan “Ini rahasia ya, tapi aku khawatir denganmu…”
Di tengah hiruk-pikuk para penasihat kontemporer yang berlomba menawarkan pencerahan, mungkin ironi terbesar adalah ini: nasihat yang dikemas dengan retorika surgawi bisa jadi hanyalah invoice terselubung untuk ego yang lapar pengakuan—atau intervensi (tanpa request) terhadap ruang privat yang kini tak lagi sakral akibat libido validasi yang menggelegak.
Di atas semua itu, subjek penasehat yang tepat dan objek yang dibasehati adalah diri sendiri. Imam Ali AS berkata : “Orang yang tak punya penasehat dalam dirinya tak akan menerima nasehat orang lain”. (Nahj Al-Balagha: Orasi 90)