Kematian tak selalu datang dari jengkol semata, melainkan dari perpaduan mematikan antara tersedak dan kekurangan oksigen. Semuanya bermula di warteg “Sederhana Binti Selalu Ramai”, tempat Sugeng—seorang pekerja lepas yang tangguh—menyantap nasi dengan lahap. Nasib sial menimpa ketika beberapa potong jengkol memberontak, menyumbat tenggorokannya dengan kejam, memblokir jalur udara seperti pasukan pemberontak.
“Gubraaaak!”
Itulah suara akhir dari tubuh Sugeng yang roboh ke lantai. Seperti semut yang mendengar gula tumpah, formasi kerumunan tim sotoy langsung terbentuk di sekitarnya. Ruangan yang sudah pengap berubah menjadi sauna maut, di mana oksigen menjadi barang langka, sementara napas penasaran para penonton justru memompa karbon dioksida ke udara.
Di tengah kepanikan itu, muncul seorang pria berpeci putih, wajahnya penuh keyakinan. Dengan nada otoritas, ia mendiagnosis, “Bacain doa! Dia lagi nazak! Ini sakaratul maut!”
‘Nazak’—kata ajaib yang mengubah kekacauan menjadi ritual suci. Tangan si pemimpin peci terangkat, dan ia mulai melantunkan doa dengan kecepatan kilat. “Amin! Amin! Aaamiin!” sahut koor spontan dari kerumunan, masing-masing sibuk mencatat poin pahala di buku akhirat mereka.
Setelah sesi doa bersama usai, Pak Haji itu beralih ke tahap berikutnya: mentalqin. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Sugeng yang mulai membiru, menuntutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh khidmat, seolah kalimat suci itu bisa menggantikan oksigen yang semakin menipis di paru-paru pria malang itu.
Bayangkan Sugeng di saat itu: di tengah perjuangan heroiknya untuk menarik napas, ia tak hanya dikepung oleh dinding manusia dan gemuruh “amin”, tapi juga dibebani tugas menyempurnakan kematiannya. Tuntutan untuk mengucapkan syahadat itu seperti penyumbat terakhir, memutus ikatannya dengan dunia yang sebenarnya butuh bantuan medis darurat.
Kemudian, klimaks absurd pun tiba. Sekelompok orang berinisiatif menggotong keranda kosong dari musala di sebelah laundry. Keranda itu masih terbungkus plastik, beraroma campuran wewangian masjid dan pelembut kain. Mereka menyusup ke kerumunan dengan semangat gotong royong yang tak terbendung, seolah berkata, “Tenang, kami urus sampai tuntas—dari dunia sampai akhirat.”
Mata Sugeng melotot lebar, bukan lagi karena tersedak, melainkan karena kepasrahan mutlak pada sistem yang begitu efisien mengurus kematian, tapi begitu lamban menghargai kehidupan. Dalam hitungan menit, sebelum sirine ambulans terdengar samar dari kejauhan, rezim kausalitas berlaku. Sugeng meregang nyawa. Dia dibunuh oleh doa bersama.
Sugeng adalah korban kesekian dari beragama tanpa akal budi.